blog ini merupakan karya sastra yang berisikan kritik sastra, cerpen dan puisi

Wednesday, October 9, 2019

MEMANAH REMBULAN

Perjumpaanmu dengan rembulan, bukan kali yang pertama. Tapi cara menatapmulah yang buat ia lebih bermakna. Rembulan, seperti benda langit lainnya, ia hanya seonggok cahaya. Dan rembulan, sungguh tak lebih baik dari bebintang, ia hanya ketiban cahaya dan coba pantulkan ke sisi gelap dunia.
Tapi, di balik kesahajaan itulah ada hikmah. Banyak manusia mampu bercahaya, punya sinar di matanya, tapi hanya berapa yang bersedia jadi pelita bagi sesamanya? Bukankah itulah makna bermanfaat bagi manusia (yanfa’u linnas).
Perjumpaanmu dengan rembulan, memang sebentar. Tapi cukup membekas. Banyak orang terlena dan asyik menatapnya. Ya sebanyak itu pula yang mengumpat hadirnya. Demikian manusia, ada yang suka kehadiranmu sebanyak yang tak kehendaki ada-mu.
Manusia terbius oleh kemilau cahaya, tak peduli pada gulita di sebelahnya. Coba ingatlah! Berapa banyak sahabat yang berada di sampingmu kala kau bahagia dan berpunya? Bandingkan, berapa yang hadir menghiburmu kala duka menyelimuti?
Ingatlah sesiapa yang menyeka air matamu? Sesiapa yang bersedia menyediakan dada untuk kau memeluk dan menumpahkan air mata di sana? Kadang ia memang tak ada kala kau bahagia. Tapi ia selalu di dekatmu saat kau bersedih lara. Ia tidak melepasmu, pun juga tak meninggalkanmu, apalagi melemparmu. Ia hanya ingin kau bebas, tak ada temali di pergelanganmu pun tak ada sangkar yang mengurungmu.
Perjumpaanmu dengan purnama yang kusebut bunda, ingatkanku pada mawar merah yang sempat kujaga hingga mekar kelopaknya, memerah mahkotanya. Ia begitu indah dan tak ada penggantinya. Tapi, ia terlepas durinya dan tercuri madunya. Ia telah kembali pada alam. Dialah yang buat namaku anak rembulan, putra pelangi dan penjaga kejora. Ia telah pergi dan takkan kembali. Ia telah hilang dan takkan hendak datang.
Kisahmu, kamulah yang ukir. Duniamu adalah kanvas besar nan luas. Kau bebas menggambar dan melukisinya. Cobalah beri sedikit warna, indah nian bukan? Duniamu juga panggung besar nan elok, ada ribuan kamera tengah mengawasimu, jangan takut, jangan malu! Bergayalah, perankanlah dirimu, seutuhnya!
Aku bukan sesiapa, hanya karpet merah sang penyambut ratu agung. Hanya menghidupkan bara dalam sekam yang basah, tapi kau lah yang berpunya puntungnya. Silahkan menyala sendiri, aku hanya sekedar meniupnya. Izinkanku membawamu, meskipun itu tak terlalu tinggi.

0 comments:

Post a Comment