blog ini merupakan karya sastra yang berisikan kritik sastra, cerpen dan puisi

Wednesday, September 25, 2019

MEMAKNAI ULANG SASTRA KORAN

Bukan kali yang pertama mempolemikkan sastra surat kabar atau lebih akrab dengan sebutan sastra koran yang kehadirannya telah menjadi genre sastra tersendiri. Sastra surat kabar setidaknya telah diakui sebagai sastra baru dengan segala keunikannya dan penulisnyapun dibaiat mendapat predikat sastrawan oleh pembacanya. Tapi tulisan ini tentu tidak menarik jika hanya mendebat para sastrawan surat kabar saja tanpa menguraikan karya yang dihasilkannya.
Ada baiknya memang di setiap media cetak menyediakan laman budaya yang memuat kolom essai, cerita pendek (cerpen), dan puisi. Di samping menambah sumber bacaan baru bagi pembaca di tengah hiruk pikuk berita yang menyajikan informasi mengenai politik, ekonomi, pendidikan, life style, dan sebagainya, laman budaya juga menjadi lahan baru bagi para penulis pemula untuk mencari peruntungan dengan mengirimkan karyanya.
Akan tetapi, seringkali tugas yang kedua ini belum terpenuhi. Laman budaya seringkali menjadi semacam ajang sapa bagi para penulis kenamaan, tempat mempolemikkan karya teman seangkatan agar bukunya dibeli oleh masyarakat, dan kadang tidak memberi ruang bagi para penulis pemula yang kelak akan menggantikan mereka.
Kualitas Sastra Surat Kabar
Pada awal tahun 2008 kita patut “angkat topi” pada Pena Kencana yang mengangkat sastra surat kabar dengan memberikan Anugerah Pena Kencana pada 100 puisi dan 20 cerita pendek terbaik yang pernah di muat di media massa. Meskipun Anugerah Pena Kencana juga masih menyisakan polemik, tapi ada satu hal yang bisa diambil sebagai kesimpulan bahwa sastra surat kabar sudah diperhitungkan.
Nah, setelah bermunculan nama-nama sastrawan lama dan baru disurat kabar, tugas yang kedua adalah menemukan kualitas karya mereka. Karena diakui atau tidak, saat ini surat kabar memiliki peran besar dalam mengangkat nama seorang sastrawan. Bahkan, menurut Sawali Tuhusetya dalam “Sastra Koran vs Sastra Cyber”, “Kompas kini dianggap menjadi “barometer” perkembangan sastra mutakhir. Tak heran jika ada yang bilang, jangan mengaku dirinya sebagai seorang pengarang apabila karyanya belum dimuat di koran nasional itu.”. hal inilah yang kemdian bagi sebagian penerbit, sastra surat kabar menjadi tolok ukur sendiri untuk mengukur tingkat kapabilitas seorang sastrawan yang menginginkan karyanya diterbitkan sebagai buku.
Menjadi tugas berat editorlah untuk menemukan kualitas tersebut. Tentu saja yang pernah dimuat di surat kabar adalah yang berkualitas bagi editor surat kabar tersebut. Tapi perlu ada pengawasan dari para akademisi sastra yang dalam hal ini kritikus sastra untuk memberikan penilaian terhadap karya yang pernah dimuat. Sayangnya, kolom bagi kritikus sastra sangat terbatas bahkan dapat dikatakan tidak ada di surat kabar. Akhirnya, kualitas sastra surat kabar tergantung selera dari editornya masing-masing.
Padahal, peran dari kritikus sastra sangatlah penting. Kita seharusnya tidak melulu memuat banyak karya tapi tidak berkualitas. Sedikit mengurai perjalanan perkembangan sastra Indonesia, peran kritikus hanya dinikmati semasa H. B. Jassin saja. Setelah itu, hampir tidak ditemukan kembali kritikus sastra yang kapabel di Indonesia. Hal ini mungkin karena tidak ditopang dengan menyediakan kolom kritik sastra di laman budaya pada surat kabar.
Dus, mengukur kemajuan sastra Indonesia seharusnya dengan barometer banyaknya sastrawan beserta kualitas karya yang dihasilkan didukung dengan adanya kawalan dari kritikus sastra yang bertugas sebagai “polisi sastra” dan peletak genre sastra Indonesia. Jadi diharapkan laman budaya pada surat kabar tidak hanya berhasil menemukan Chairil Anwar yang baru tetapi juga menemukan ribuan “Paus Sastra” macam H. B. Jassin yang anyar pula.
Sastra Cyber dan Masa Depan Sastra Surat Kabar
Banyak ulasan baik di koran maupun internet berbicara mengenai masa depan sastra surat kabar dengan membenturkannya dengan sastra cyber. Sastra koran dinilai oleh sebagian kalangan tidak relevan lagi dengan zamannya. Sebenarnya bukan tidak relevan lagi, tapi sulit untuk ditembus dan akhirnya banyak para penulis mengalihkan karya mereka dengan membuat blog sendiri atau mengirimkan ke blog sastra ternama. Dan posisi ini kemudian dimanfaatkan bagi pengelola blog untuk bersaing baik dengan sesama blog sastra bahkan dengan media cetak/koran.
Ada beberapa alasan tentunya mengapa banyak penulis mengalihkan karya mereka dari koran menuju cyber/blog. Pertama, surat kabar enggan untuk memasukkan karya penulis baru. Kedua, sastra blogger dapat diakses oleh siapa saja dan di mana saja, berbeda dengan koran yang hnaya dapat dibaca oleh kalangan tertentu dan tempat tertentu. Ketiga, di blog, para penulis dapat bertegur sapa bahkan mengelompokkan diri dengan membentuk komunitas-komunitas baru.
Tentunya dalam kualitas, sastra surat kabar lebih diakui kualitasnya meskipun terkadang di sastra cyber banyak pula ditemukan karya-karya yang berkualitas. Namun, karena sastra cyber tidak ada proses editing oleh editor sehingga sastra cyber lebih terlihat serampangan. Tidak salah kemudian muncul pernyataan bahwa sastra cyber tidak dapat dimasukkan ke dalam genre sastra karena bukanlah karya sastra.
Akan tetapi, mengutip pernyataan dari Redaksi Newsletter Hawe Pos Edisi Cultural Studies 21/Maret/VI/2007 “terlepas dari perdebatan soal kualitas dari karya sastra cyber, kehadiran situs-situs online atau blog dapat menjadi alternatif bagi para penulis untuk mengekspresikan karyanya secara lebih leluasa tanpa harus terikat kepada bentuk baku yang ada di media mainstrem. Pada gilirannya nanti, kehadiran sastra cyber ini dapat mewarnai perkembangan dunia sastra Indonesia yang masih stagnan. Setidaknya langkah ini sudah dimulai, dan tak mustahil dominasi sastra yang selama ini dikendalikan oleh media cetak akan segera berakhir digantikan oleh sastra cyber”.
Demi terwujudnya kualitas sastra Indonesia, kiranya baik editor sastra surat kabar dan pengelola sastra cyber dapat memikirkan ulang mengenai karya-karya yang akan dikonsumsi oleh pembacanya. Sastra Indonesia baru satu kali masuk finalis penghargaan nobel sastra dunia lewat Pramoedya Ananta Toer, dan jika kita terus menjaga kualitasnya tidak menutup kemungkinan pada tahun-tahun mendatang nobel sastra akan diraih oleh sastrawan Indonesia. Semoga.
Read More

YANG TAK MUNGKIN TERJALIN

Ia berlalu. Ia tinggalkan serpihan hatiku yang hancur-lebur berserakan di sudut mataku. Aku masih tak pula memahami apa yang sesungguhnya ia inginkan. Berulang kali aku jelaskan padanya, pada gadis itu, betapa aku sangat mencintai dirinya. Aku pun telah memohon padanya untuk –paling tidak- berpura-pura mengizinkanku memiliki dirinya seutuhnya. Meskipun aku tahu, sedetik pun aku tak bisa wujudkan harapanku itu. Dan karena itu, ia menolak. Ia tak mau itu. Ia tak inginkan itu. Ia hanya berkata tidak, kemudian diam, dan pergi.Ku lihat ia berlalu begitu saja. Berjalan dengan begitu cepat. Seakan tak mengizinkan mataku memandang punggungnya yang begitu ingin ku dekap dan ku rangkul kembali. Mungkin ia berpikir aku akan mengejarnya. Menarikya dan memaksanya untuk turut serta bersamaku. Tapi ia salah. Tidakkah ia telah mengenalku? Aku begitu menyayangi dirinya, hingga ketakbersediaanya adalah ruh yang dapat menyambung hidupku, andai ia bersedia berkata tidak, memberi senyum manisnya yang begitu ku rindu. Walau pada akhirnya, jiwaku hanya akan semakin kosong. Dan hatiku menguap besama kepergiannya. Aku yakin, aku masih dapat menelan pahitnya cinta ini.
Gadis itu datang begitu saja dalam hidupku. Aku tak begitu mengenal dirinya, bahkan mungkin hingga kini, aku masih tak pula mengenal ia. Ia begitu berbeda dengan gadis lain yang pernah ku kenal. Aku tak pernah berfikir tuk tertarik padanya. Sama sekali tidak. Terutama, pada saat itu, aku masih terikat dalam sebuah komitmen bersama seorang gadis yang begitu elok jelita. Gadis elok itu miliki suara yang begitu merdu. Dan aku sangat beruntung miliki dirinya. Aku bangga ia ada di sisiku dan mengakui aku sebagai kekasihnya. Namun tanpa ku sadari, jarak antara diriku dan gadis yang kini berlalu begitu saja dariku, semakin menipis. Kekasihku tahu itu, ia marah, kemudian meninggalkanku.
Sejak saat itu, ia yang mengisi hari-hariku. Ia tanyakan keadaanku. Ia ingatkan aku untuk melakukan ini dan itu. Ia juga menyadarkan ku untuk tidak berlaku begini dan begitu. Ia begitu mencurahkan berjuta perhatiannya padaku. Ia mengisi setiap sudut hatiku yang begitu kosong semenjak orang tuaku meninggalkanku. Aku merasakan cinta yang begitu hangat memeluk diriku. Menyalurkan nafas kehidupan baru di paru-paruku. Memberikan tambahan tenaga untuk mampu mengarungi hidup yang ku kira akan segera berakhir.
“Aku gak bisa ada di dekatmu lagi.” Itu kalimat singkat yang ia katakan. “Aku tidak lagi bisa menanyakan kabarmu, mengingatkanmu untuk makan, juga memintamu untuk memeriksakan bekas luka di lenganmu yang kau keluhkan sering membuatmu terjaga di tengah malam, serta memohon padamu untuk pergi ke dokter gigi dan menambalkan gigimu yang kau bilang telah berlubang.” Ia menambahkan penjelasannya. Mungkin ia tahu aku terkejut dengan ucapannya. Segera ia minta berjuta maaf padaku. Kata yang sesungguhnya tak ku inginkan muncul dari bibirnya.
“Maafkan aku! Seharusnya aku sadar dari dulu, akan siapa sebenarnya diriku. Bagaimana budaya dan adat yang ku junjung. Serta betapa adat kita begitu berbeda, tak mugkin dijadikan satu.” Ia kini tertunduk. Ku kira ia menangis, tapi ternyata ia tidak menangis, sama sekali tidak ada air mata yang ia teteskan. Namun ia tertunduk. Aku tak tau apa yang sebenarnya ia rasakan. Aku tak pula mengerti apa yang kini ia pikirkan. “Aku tahu itu.” Aku mencoba membalas ucapannya. “Tapi, tidak bisakah…”
Belum aku tuntas kata yang hendak ku ungkapkan, ia mendongakkan kepalanya. Ku lihat matanya mulai membiaskan sinar redup lampu di café malam itu. “Mungkin kamu sanggup, jika perpisahan ini terjadi secara tidak baik. Kita tidak lagi berteman, mungkin kita akan saling menghujat dan menghina. Tapi aku tidak sanggup!” Ia hampir saja memekikkan jeritannya. Tapi ia menahannya. Hingga kulitnya yang berwarna sawo matang itu seakan meredup menjadi coklat bertabur merah darah.
“Aku ingin perpisahan ini terjadi seindah perjumpaan kita. Kita awali semuanya dengan baik, dan kita akhiri ini dengan baik pula.” Ia terdiam. Mungkin ia sedang menunggu balasanku. Tapi tidak. Aku tak sanggup berkata. Pikiranku begitu kosong. Aku tak pernah membayangkan bahwa perpisahan yang kerap ia bisikkan di telingaku, akan terjadi secepat ini. Aku tak pernah memikirkan akan kehilangan dirinya. Seseorang yang selama ini ku jadikan sandaran hidupku. Aku akan roboh. Aku pasrti akan roboh dan tersungkur. Mungkin mati.
“Aku tahu, Olka pasti bisa jalani kelanjutan hidup Olka tanpaku.” Kini ia mulai berbicara dengan begitu tenang. Sinar kedewasaan yang selalu kulihat dari sudut matanya, kini kembali bersinar. “Olka telah melakukan banyak hal hebat selama ini. Olka memberikan kebanggaan pada orang tua Olka. Olka menjadi orang yang dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar Olka. Dan Olka yang sekarang di depanku, adalah Olka yang berbeda dengan Olka yang satu setengah tahun yang lalu ku kenal. Olka yang sekarang sudah dapat mengendalikan emosi. Olka akan berhasil, benar-benar berhasil.”
Aku tak ingin menyelanya berbicara. Ia tak pernah berbicara sebanyak itu. Sekalipun. Tapi tak bisa. Aku ingin dia tahu. “Aku gak akan sanggup! Tidak akan!” Kataku. Ia hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian ia menundukkan lagi kepalanya. Aku semakin bingung melihat tingakahnya itu. Aku butuh ia. Sangat!
“Olka, ku mohon!” ia berbicara lagi. Namun ia masih tetap menunduk. “Ku mohon! Ini akan semakin berat untukku, juga untukmu.” Ia terdiam sesaat. Ku dengar ia menarik nafas panjang. Dan, “Hubungan kta tak pernah bernama. Kita hanya saling menjaga, saling mengerti, juga saling memahami.” Ia begitu tenang mengungkapkan kata-kata yang tersusun begitu teratur dan indah. Meski ku dengar suaranya begitu parau. Seakan ada tali yang mengikat lehernya.
“Aku hidup di lingkungan yang sama sekali berbeda dengan lingkunganmu. Perempuan dari golonganku, tidak diizinkan berhubungan dekat dengan lelaki manapun, terutama dengan lelaki yang berasal dari luar golonganku.” Mugkin ia tahu aku tersinggung dengan kata-katanya. Seperti yang aku tahu, ia tak pernah berharap, siapapun terluka sebab perkataannya. Karena itu, ia sesegera mungkin memperjelas perkataannya.
“Ini bukan tentang pembedaan derajat manusia. Tidak pula tentang pantas atau tidak. Juga bukan tentang betapa sombongnya aku dan golonganku. Tetapi ini adalah tentang bagaimana aku membawa obor tradisi yang kini sedang mulai meredup di genggamanku. Tentang bagaimana aku menjaga tradisi ini, sebagai kehormatan keluargaku. Hanya itu.”
Aku lagi-lagi terdiam. Ingin sekali ku paksa ia melihat mataku yang mulai memerah menahan duka yang tak kuasa ku pikul. “Jika, seandainya rasa yang ada pada diri kita adalah benar yang sebagaimana manusia namakan sebagai cinta. Maka, cinta kita tak mungkin terjalin. Tidak mungkin terjalin bersama, tak mungkin terjalin, selamanya….” Ia diam. Tak lagi berkata. “Aku tahu! Aku tahu! Aku tahu itu!” Aku meneriakkan ketak sanggupanku menerima kenyataan ini dengan menyandarkan kepalaku di bahunya. “Maafkan aku, Olka!” Ku dengar ia berisak. Isakan pertamanya di hadapanku. Mungkin juga yang terakhir.
“Aku tahu ini berat, sangat berat. Tapi ini juga yang terbaik bagi kita, hanya sampai sini jalan yang bisa kita lalui bersama. Kita berpisah di persimpangan ini.” Ia menungguku menyingkirkan kepalaku dari bahunya. Sejenak ia pandang tajam ke dalam mataku. Ku lihat bekas air mata yang membasahi sekitar matanya. Bulu matanya yang cukup lentik tampak basah dan semakin kelam. Tanpa ku duga. Ia kecup keningku dengan begitu lembut. Ku dapat rasakan isi hatinya, yang utuh, yang berduka, yang akan selalu ku rindu, dan selalu merindukanku.
Kini, aku paham ia. Meski aku masih tak mengerti. Mungkin karena aku tak mau mengerti. Ia hanya ingin jalankan tugasnya. Menghidupkan tradisi di masyarakatnya. Menjaga sesuatu yang manusia modern anggap sebagai sesuatu yang kuno. Sesuatu yang dianggap tak lagi pantas ada di kehidupan global ini. Bagian dari hidup manusia. Kebudayaan, tradisi, juga adat. Yang kian hari, semakin dijadikan musuh peradaban modern. Bukan karena ia anggap aku sebagai sebuah mainan, atau hanya sebuah titik di hidupnya. Namun, seharusnya aku tahu, bahwa aku pernah menjadi nyawa hidupnya. Sebuah detak yang menyambung hidupnya. Begitu juga hadirnya di sisiku.
x
Read More

BUKAN KARENA RINDU

Sekilas ini saja, kenangan yang tertinggal di jendela, angin membawanya entah dari mana, lalu gerimis sesaat membasahinya di sana. Barangkali sudah terlalu lama atau hati gagal memberi makna pada tiap pesan kenangan, hingga rindu bagai bunga ilalang, telah hilang ditiup bayu, enggan lagi bercumbu seperti yang pernah di senja itu.

Kau memang tak pernah pulang, untuk mengabari musim tentang singgah atau jengah. Bahkan kau tak pernah berjuang untuk memperlahankan waktu, memberi ruang untukku merasa tunggu itu bukanlah siksa yang meruam di hati atau menepis rasaku pada akhirnya akan mati sendiri.

Pun aku masih di sini, meski nanti bagai menggumpal angin di dalam genggam, bagai menabur garam di lautan, aku mau kau tau aku bertahan bukan karena rindu, tapi karena luka enggan melupakanmu.
Read More

JALAN YANG MASIH MENANTI

Sama halnya dengan hari-hari yang telah pergi, aku hanya ingin kau tau, ada aku yang menantimu, selalu.

Meski pagi terasa sangat lambat mengirim matahari, hingga embun mengupas luka, makin gigil di dalam selimut tanpa tubuhmu, aku sempat membujuk rindu dan mengemas mimpi di lemari, setelah semua bagasi terisi dengan kenangan, untuk ku kirim pada hujan yang belum datang.

Jalan di depan rumah, rerumput hijau dan dedaun kering saling berbicara, meski bukan lagi tentang kita, namun aku percaya, musim akan berubah, cerita-cerita indah akan tetap tumbuh, luka akan sembuh, walau hati ini tak mungkin jatuh cinta lagi.
Read More

AKU BAIK-BAIK SAJA

Ini bukan tentang luka tapi hati yang gagal benci setelah kau pergi. Tak pernah ada airmata di pagi kali pertama aku bangun tanpamu, tak pernah aku gigil sendiri di malam-malam hujan yang kadang beku.

Jangan pernah mengira, hatiku patah. Ia hanya sedang dewasa dengan banyaknya calar balar dan lebam biru yang kau cakar. Hatiku sedang memujuk rindu yang bukan waktu.

Aku baik-baik saja setelah kau pergi bersama dia. Walau tak pernah ada doa untuk kalian, bahkan aku bungkam, bibir ini yang kerap memberi ciuman mengulum sejumlah perkataan, tak terungkapkan.

Aku baik-baik saja, tiada luka dan airmata, karena hatiku telah mati untuk merasa, bahkan cinta, aku sudah lupa di mana kita bermula.
Read More

JIKA PADA AKHIRNYA KAU PERGI TAK PERNAH KU TAHU

Kupandang kembali potret yang menggores hatiku
Saat kau pernah bersemayam dalam hatiku
Saat kau pernah menjadi inspirasiku
Saat kau pernah menjadi bahan ceritaku dikala itu

Seketika datanglah kebodohan direlung hatiku
Sampai kapan harus ku sembunyikan perasaan yang semakin terbelenggu
Senyummu yang dulu semarak, kini merasa lemah saat menatapmu
Menahan kekecewaan karena cinta yang tabu

Kini kau telah pergi menjauh dariku
Akupun harus bahagia dengan takdir yang memang ditakdirkan untukku
Walau dulu ku pernah berharap akan bahagia bersamamu
Tapi itu dulu, sebelum perasaan itu sirna bagai angin berlalu

Kini kau telah menghilang tak pernah ku tau
Membawa semua senyum serta tawaku
Tanpa terbesit difikiranmu untuk mengingatku
Melupakan kebahagiaan itu karenamu
Lalu kau hempaskan semua itu

Bisakah kau kembalikan senyumku
Bisakah kau kembalikan canda tawaku
Bisakah kau kembalikan kepercayaanku
Jika kau tak bisa melakukan hal itu
Lalu untuk apa kau mengukir kisah indah bersamaku?

Jika pada akhirnya, kau pergi tak pernah ku tau
Membiarkan penyesalan menghantui ku
Bersama bahagia dan luka menjadi satu
Meninggalkan, melupakan, tanpa menoleh sedikitpun dihadapanku
Read More

MUNGKIN AKU

Mungkin aku hanyalah orang ketiga
Yang tiba-tiba hadir disaat kau ingin berbagi canda
Yang tiba-tiba hadir disaat kau terluka
Yang tiba-tiba hadir ketika kau ingin berbagi bahagia
Yang tiba-tiba hadir untuk mengisi kosongmu saja

Aku seperti hadir diantara kau dan dia
Hadir hanya untuk sesaat, dan itupun hanya frasa
Kemudian kau lupakan aku begitu saja
Tapi aku merasa bahwa ini adalah hal yang biasa
Karena ku tahu bahwa dimimpimu hanya ada dia
Sementara kita....
Hanya sebatas teman belaka

Mungkin baginya.....
Aku adalah teman yang dapat memberi solusi untuknya
Aku adalah teman yang selalu ada untuknya
Aku adalah teman yang selalu menasihatinya.
Tapi, kenapa harus aku yang mengetahui kisahnya
Bahkan aku tak mampu menolak segala tentangnya

Entah apa yang tengah ku rasa
Entah kenapa ku rela terluka
Sesekali, akupun sempat tak memperdulikannya
Kemudian lama kelamaan, Akupun menyadarinya
Bahwa mungkin aku hanyalah orang ketiga
Yang hanya singgah dihidupnya untuk sekejap saja

Jujur, saat dia bercerita
Saat dia berbagi bahagia
Saat dia berbagi duka
Saat dia berbagi canda tawa
Sepertinya ada rasa sesak didada
Aku pun semakin menyadarinya
Bahkan tanpa tersadar hatiku terluka
Karena ternyata aku diam-diam telah menyukainya.
Read More

AKHIRNYA DI SINI KUSUDAHKAN MIMPI

Bukan cinta yang hilang di rumah kita, tapi hati yang lupa untuk saling rindu, lalu perlahan waktu mengikis semua harapan dan rasa pelan-pelan kian padam.

Semakin hari, banyak kesepian kutemukan di wajah kita, mata kita hilang bicara lalu kata-kata bungkam di bibir, benci untuk lahir, dieram sunyi.

Kita beku, siang hanya lukisan yang tertempel di luar kamar. Menatap kosong, hampa menjengkal ingatan, kenangan merapat, membusuk dan rindu bagai bangkai yang lupa kita tanam pada kematian.

Pada siapa harus kita salahkan, cinta dahulu warnanya mengusang, malam tenggelamkan ku padamu yang tak ingin pulang.

Pergilah mengejar mimpi baru, aku sudah tidak mempunyai tidur untuk bermimpi bersamamu, biarlah di sini hanya ada aku, luka dan rindu. Kami saling sepakat untuk membunuhmu dan kenangan itu.
Read More

SEMATA WAYANG

Oleh : Liza Wahyuninto

“Ma, boneka Vio rusak lagi”.
Hari ini aku mengadu lagi kepada Mama. Sudah seminggu ini aku mengadu dan belum juga ditanggapi oleh Mama. Aku sedih. Apalagi boneka ini adalah pemberian Mama saat ulang tahunku bulan lalu.
“Mama sibuk, Vio”.
Selalu begitu mama menimpaliku. Mamaku memang orang sibuksedunia. Ia bangun pagi-pagi sekali. Jam tiga pagi sudah bangun. Itu sudahmenjadi kebiasaannya, bahkan sejak aku mulai dapat mengingat ia sudah sepertiitu.
Mama pergi ke tempat kerja jauh sebelum aku bangun pagi.Yang aku tahu, saat aku membuka mata semuanya sudah siap, mulai dari sarapan pagi, susu coklat hangat, kaos kaki baru dicuci, sepatu yang akan kenakan hariini, pakaian yang rapi, hingga (maaf) pakaian dalamku juga mama yang menyiapkan.
Katanya mamaku kerja di dinas perhubungan. Aku sendiriseumur ini belum pernah di ajak ke sana. “Mama tidak mau diganggu siapapun kalau di kantor”. Begitu pesannya dulu. Dan aku juga tidak mau tahu da ambilpusing apa kegiatan mama di sana.
Aku sendiri anak pertama dan satu-satunya di keluargaini. Sikapku sebenarnya tidak manja, hanya saja dimanjakan oleh keadaan. Akukuat, aku mampu seperti anak biasanya, tapi aku juga tahu bagaimana harus menjadi anak semata wayang. Ya, harus jadi anak baik, penurut, dan tidak boleh mengecewakan orang tua.
Sebenarnya dulu aku punya saudara. Laki-laki. Tapi, dia meninggal saat aku baru dapat mengucapkan kata “Adik”. Jadi, sampai sekarang tinggal aku sendiri anak papa dan mamaku di rumah ini. Ya sebagai sulung, juga sebagai ragil.
Aku jarang sekali berkomunikasi dengan mama akhir-akhir ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Desember menjadi bulan yang akan menyita waktu mama. Terutama untuk diriku. Aku kadang kangen sama mama, meskipun hanyadia mendengar aku bercerita di kamarnya. Aku biasanya menyerobot masuk ke kamar mama. Sekalipun mama tengah sibuk dengan kaca mata minusnya dengan tumpukankertas laporan, aku akan menghampirinya dan langsung bersandar di pundaknya atau tidur di pangkuannya. Nah, kalau sudah seperti itu, mama pasti akanmemerhatikan bidadari kecilnya ini dan mendengarkan semua ceritaku.
Mamaku pandai menghargai orang. Dia tidak akan memotongpembicaraan orang yang tengah bertutur kepadanya, sampai orang tersebut selesaiatau meminta mama untuk menanggapinya. Dan mama belum pernah memarahi aku. Ataumungkin aku lupa, tapi sejak aku dapat mengingat jelas apa-apa yang menjadikebersamaanku dengan mama, mama tidak pernah melontarkan perkataan keras ataumenyinggungku. Apalagi menampar dan mengurungku di kamar mandi, itu tidakpernah ia lakukan.
Mamaku cantik. Cantik sekali. Aku saja sebenarnya tidakcantik-cantik banget, tapi kata mama, aku mirip dirinya waktu masih muda dulu. Namun,sayangnya papa tidak dapat melihat kecantikan mama terus berubah. Papa sudah limatahun tidak pulang ke Indonesia. Papa kerja di Australia.
Tapi aku masih dapat melihat sinar kecantikan itu tetapmembekas di wajah mama. Padahal mama tidak melakukan perawatan-perawatan khususbagi muka dan kulitnya, seperti setiap bulan ke salon atau ke SPA. Mama merawatsendiri dirinya. Kata mama suatu ketika, “Perempuan itu harus bisa merawatdirinya, kalau tidak dia tidak akan dapat menghargai pribadinya sendiri”.
Aku juga pandai merawat diriku. Aku mandi sendiri,memilih alat-alat kosmetik sendiri dan kemana-mana juga sendiri. Tapi, untukurusan dapur dan rumah, aku masih mengandalkan mama dan bi Inem. Hehe… Aku kananak semata wayang.
Aku kangen sekali sama papa. Meski mama dapat menjadipribadi dua orang dalam hidupku, tapi mama tidak benar-benar dapat menggantikanperan papa dalam hidupku. Aku kangen sosok papa yang terus menuturiku. Akukangen seorang papa yang malam membacakan dongeng-dongeng bersahaja kepadaku.Dan aku kangen seorang papa yang SIAGA, siap antar dan jagain aku kemanapun akupergi.
Papa tidak sesibuk mama. Kerja papa hanya di bisniskecil. Gajinya juga tidak sebanding dengan besarnya gaji mama. Mungkin itulahyang membuat papa kecil hati dan ngotot dua tahun yang lalu untuk pergi keAustralia. Mama sebenarnya melarang. Mama benar-benar tidak mempermasalahkanpekerjaan papa, gaji papa, atau bagaimana cara papa membesarkan aku danmenghidupi kami sekeluarga. Bagi mama, kasih saying itu lebih sempurna darisemua harta yang kami miliki saat ini.
Papa sebenarnta sangat membanggakan. Meski pekerjaan paparendahan, tapi tidak dengan jiwa dan kemampuannya. Papa pandai sekali memasak.Mama saja terkagum-kagum dengan kelezatan masakan papa. Apalagi aku yang tidakbisa apa-apa, menggoreng saja tutup mata takut kena cipratan minyak panas.
Papa orangnya telaten, mengurus aku, menemaniku kemanapergi, dan yang paling kusuka yaitu saat menemaniku membeli buku. Papa orangnyapintar memilih. Dan papa selalu memilihkanku bahan bacaan yang sangat pentinguntuk aku tahu. Tapi diam-diam aku suka novel. Aku ingin suatu saat sepertipapa. Pandai bercerita. Dan aku akan menjadi bidadari malam seperti dalamdongengnya papa, yang mengantar seluruh anak di dunia untuk tidur dengancerita-cerita indahnya. Ah papa, aku sangat merindukanmu.
Terakhir ayah berkabar bahwa dirinya akan pulang tahundepan. Dia mengirimiku selembar kartu pos yang tertulis di sana keberadaan ayah. Melbourne. Papa menulis di situ mewakili isi hatinya bahwa papa rindu akudan mama. Aku menangis membacanya. Mama hanya diam lalu masuk ke kamarnya waktuitu. Aku bisa memastikan mama juga menangis di balik kaca matanya. Hanya sajamama ingin selalu tampak kuat di depanku.
Pernah kubujuk mama untuk pergi ke Australia. Ke tempat papa. Mama menolak. Sibukurusan kerjalah, tidak ada waktu dan lain lah alasannya. Tapi, mama begituantusias apabila bercerita sosok papa. Apalagi saat papa masih muda dan saatmereka masih berpacaran. “Papamu itu manusia unik. Jarang ada laki-laki sepertidia. Matanya itu penuh saying dan cinta. Mama merasa seperti di dunia lainsaat-saat bersamanya. Tapi papamu memang orang baik. Bahkan sejak berpacaran hingga saat ini papamu nggak pernah menunjukkan sikap kecewa dan mengecewakanmama”, kata mama suatu ketika.
Mamajuga pernah mengatakan kalau wajahku itu mirip papa. Ya, mungkin teori genitasyang mengatakan bahwa anak perempuan pasti menyifati wajah bapaknya, dan jugasebaliknya. Tapi aku cantik, secantik mama.
***
“Ma,bonekaku rusak lagi!”
Akuterbangun. Dan kudapati anakku ada di sebelahku sembari menyodorkan bonekabarbienya yang rusak. Aku lupa sudah seminggu ini ia merengek kepadaku agar akumemperbaikinya. Kemana saja aku seminggu ini, sehingga anakku saja tidak lagi kuperhatikan.
Read More

GERIMIS MALAM

Oleh : Liza Wahyuninto

Basah, saat kaki ini memijak tangga terakhir, lorong-lorong banjir dan di bangku tunggu anak-anak hujan terkapai, jatuh ke lantai.

Muram, ada luka sedang mengeram, langit menjual airmatanya dengan harga kenangan, pelan-pelan ia datang, merayap di antara ruang sunyi yang belum kupenuhi dengan mimpi.

Meski malam enggan, angkuh membiar dingin merajam sum-sum ku, menyayat kulit tubuhku, lalu menaruh beku, darah seakan terhenti pada detak jantung paling sunyi, lirih mengadu pada diam paling hitam, kegelapan.

Aku pulang, menyongsong tubuh mereka yang menyerah pada malam. Menentang riuh pesta lampu yang nyinyir, tiang-tiangnya mentertawaiku, aku lewati semuanya tanpa percakapan. Gedung-gedung tinggi menunduk, masih terlalu kerdil diri ini saat tatapku mencapai bumbung, berkaca, serpihan gerimis seakan menikam mata, separuh buta.

Malam kulepaskan, ia bebas terbang, kutanggalkan sepasang kepak, aku tidak mungkin melayang, karena hati hanya ingin pulang, menikmati gerimis di jendela kamar, mencium aroma tubuhmu, bergumpal di dalam selimut biru sebagai sahur rindu untuk esok yang belum janjikan kita, temu.
Read More

TERATAI MESIR

Oleh : Liza Wahyuninto

(Menuju 106 tahun kelahiran Aisyah Abd. Rahman Bint al-Syathi’)

Terlahir sebagai perempuan
Tak buat kau kecil hati tuk lahirkan sebuah pemikiran
Bukan gelar yang kau cari
Tapi memudahkan sebuah kesukaran

Pantai kecil yang jadi saksi keuletanmu,
Kini slalu jadi pengiring namamu
Masa remajamu,
Kau tukar dengan mengarungi lautan pena
Demi pemahaman akan ilmu,
Sang guru kau angkat sebagai pembimbing hidupmu

Awalnya memahami makna itu sukar
Kau beri tangga agar mudah tuk menjangkaunya
Lembut dalam sikap
Namun tegas dalam pemikiran

Kau bilang al-Quran menjelaskan dirinya sendiri
Dengannya, kau ciptakan metode tafsir yang ideal
Sayang, karena status gender
Pemikiranmu diklaim milik tokoh yang bahkan tak sezaman denganmu

Kini, 106 tahun setelah kelahiranmu
Al-Syathi’-mu masih jadi saksi
Tumbuhnya teratai di Mesir
Kerjamu memang belum usai
Tetapi sebuah kemajuan untuk berani memulai
Read More

KEMARAU

Oleh : Liza Wahyuninto


Tunggulah
Kemarau masih pulas
Bakar dedaun dan ranting
Hanguskan embun
Keringkan hujan di langit mendung

Belum waktunya mentari basah
Gersang belum lelah
Debu dan pasir masih bertelaga
Tentang jejak-jejak yang masih merah

Ada kenangan terlupakan
Terbenam di jejak yang hilang
Kemarau menyapu abu
Lenyap di langit separuh biru

Ada engkau
Tersisa
Di antara dedaun kuning dan mentari jingga
Pulang pada senja
Mencari rindu; bukan lagi kita
Read More

MENTARI MASIH RINDU

Di ujung langit biru, senja membukukan hari ini tanpa catatan, mengemas waktu, menyemat berhelai-helai kenangan sepanjang jalan, memikul mimpi dan luka semalam.

Sementara aku menatap sisa gerimis di dalam sejalur sinar, berkaca bagai mutiara, merenangi mata, silaukan jendela gedung, menutup dinding-dinding murung.

Selangkah mentari pulang, sunyi menyerbu pinggir hati, barangkali gelap nanti temukan aku dengan bayang-bayangmu, sekerlip pejam, meski mentari masih rindu, aku pun telah memanggil malam.
Read More

BULU MATA


Oleh : Liza Wahyuninto

Kata orang kalau ada bulu mata yang jatuh, artinya ada seseorang yang merindukanmu. Aku yang tidak pernah mau percaya dengan ucapan orang, apalagi yang berkenaan dengan menebak-nebak sesuatu yang tidak jelas. Entah kenapa hari ini aku percaya sekali bahwa ucapan yang telah menjadi peribahasa itu seperti ada kebenarannya. Bayangkan, dalam sehari ini saja, sudah tiga kali bulu mataku jatuh. Aneh. Aku mendapatinya menggelayut di antara bulu mata yang lainnya.

Masih kata orang, di saat bulu matamu jatuh, ambillah. Letakkan di telapak tanganmu. Tepuklah dan mulailah mengeja dari huruf A sampai Z. Jika nanti bulu matanya berpindah ke telapak tangan yang lain pada salah satu huruf, maka tebaklah, siapa orang-orang dalam kehidupanmu yang memiliki awalan dengan huruf demikian.

Aku sekonyong-konyongnya sangat geli bila mengingat-ingat ucapan ini. Tapi kali ini dengan masa bodoh aku pun ikut melakukannya. Seorang lulusan fakultas hukum kenamaan ibu kota ini seperti kerbau dicocok hidungnya. Mengikuti saja kebiasaan yang kebenarannya sangat sangat dipertanyakan. Seorang Sarjana Hukum, calon advokat Indonesia masa depan, mau saja mengikuti tahayul. Dalam hati aku tertawa. “Hehehe…masa bodoh!! Sekali-kali, boleh donk..!!”

Aku mulai melakukannya, hal bodoh itu. Meletakkan bulu mataku yang jatuh ke atas tanganku. Dan mulailah aku menepuk tangan sambil beriring ejaan huruf A-Z, persis seperti anak sekolah Taman Kanak-Kanak.

Tapi, “Ups! Jatuh.”. Aku setengah berteriak.

“Bagaimana ini, apa tafsirnya, bila belum sempat berpindah ke telapak tangan yang lain, bulu matanya jatuh ke lantai?”, Aku bertanya sendiri dalam kebodohanku.

“Ah, peduli amat. Yang penting kan berpindah. Nah, jatuh artinya juga pindah. Jadi, tadi aku berhenti di huruf apa? G, H, I, atau J ya? Ah, bukan bukan. Tadi di huruf K. Iya, benar. Pasti K. Aku yakin K.”

Aku mulai menggunakan keahlianku, melakukan penyelidikan. Ini juga sering kulakukan jika masalah besar tengah menimpaku. Aku akan melakukan penyelidikan dari hal-hal yang paling kecil kulakukan, hal besar hingga hal yang mustahil untuk aku lakukan. Tapi yang ini beda. Beda tipis, tapi jauh. Antara badai gurun dan badai laut.

Aku mulai menulis nama apapun dan siapapun yang memiliki awalan dengan huruf K.

Kenanga, teman Sekolah Dasarku. Korie, salah satu nama tokoh dalam novel Salah Asuhan. Kejora, nama bintang. Kerbau, nama binatang. Kirana, teman sebangku waktu kuliah. Kudus, julukan temanku waktu SMU. Kinanti.

Nah, yang ini aku lupa siapa dia. Teman TK, SD, SMP, SMU, kuliah sepertinya tidak ada yang namanya demikian. Bintang iklan, artis kenamaan, pemain sepak bola, pebasket nasional dan internasional juga bukan. Nama sutradara sejagat juga tidak mungkin. Mana ada nama kampungan begitu jadi sutradara sekelas Hollywood.

“Aaaarrrgh!!!”, aku berteriak kecil. Malu kalau-kalau di dengar tetangga. Meskipun hari libur, aku juga masih punya sopan dan santun terhadap tetangga. Istilah kerennya tenggang rasa.

“Kinanti”, aku mengulang melafalkan namanya. Toko obat, toko jamu, atau warteg mana yang pernah kusinggahi dengan nama itu. Absurd. Nihil. Tidak ada satupun nama itu dalam otakku. Mungkin ukurannya terlalu besar untuk kutampung dalam memoriku.

“Konyol”, aku memaki diri sendiri sambil mengambil Koran pagi ini. Hari yang konyol, pikiran konyol, kelakukan juga konyol.

Kubuka halaman per halaman Koran yang kupegang. Seperti biasa, berita yang selalu menarik perhatianku adalah berkenaan masalah politik dan hukum. Meskipun sudah bisa dipastikan isi beritanya apa, tapi aku tetap membiasakan diri untuk membacanya. Disamping memperbarui informasi, juga sebagai persiapan kalau-kalau ada teman sejawat yang mengajak debat warung kopi. Debat tanpa ujung dan tidak ada kesimpulannya.

Selesai membaca bahasan politik dan hukum yang sedikit membutuhkan pemikiran saat membacanya. Aku berhenti pada satu kolom, budaya. Kolom kesukaanku semenjak masuk SMU. Terutama cerita pendek. Di samping bahasanya santai juga tidak memerlukan menguras otak untuk mendapatkan ide dasarnya. Aku suka menebak amanat penulis. Itu saja.

Selesai memelototi koran, aku beranjak dari kursi malasku. Aku berdiri menopang tubuhku yang sedikit maju ke depan dengan kedua tanganku memegangi pagar kecil di dipanku. Pandanganku tertuju pada alun-alun kecil di komplek perumahanku.

Meskipun tidak luas, tapi tidak pernah sepi. Apalagi saat hari libur seperti ini. Mulai dari anak yang belum berumur alias masih dalam kandungan, sampai yang rambut hitamnya bisa dihitung dengan jari tangan semuanya berkumpul di sini. Jadilah alun-alun di depan rumahku seperti bumi perkemahan. Untungnya, kebersihannya selalu terjaga. Jadi tidak membuat hatiku mengumpat. Karena aku paling tidak suka melihat sampah ada di mana-mana. Kebersihan, bagiku, bukan sekedar kebersihan diri. Tapi juga lingkungan dan tempat tinggal.

Tapi, aku belum juga dapat melupakan kekonyolanku tadi. Aku masih penasaran dengan nama Kinanti yang tiba-tiba saja ada dalam ingatanku. Tokoh politik bukan, penulis buku hukum juga tidak pernah kutemui dengan nama demikian. Aku pernah berkunjung ke kota mana, sehingga mendapatkan nama demikian? Aku mulai mengingat kota-kota kecil dan besar yang sempat kusinggahi, meskipun di antaranya hanya mampir membeli minum dan camilan.

Aku mulai dari kota tempatku kini berasal, Jakarta. Bandung, Bogor, Bekasi, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Bali, Bandar Lampung, Bukit Tinggi, Nanggroe Aceh Darussalam. Apa iya, Papua. Tidak tidak. Tidak mungkin Papua. Nama seperti itu adalah keturunan Jawa.

Nama-nama melayu biasanya diakhiri dengan Wati atau Syah. Kalau pulau timur Indonesia biasanya namanya sedikit kebarat-baratan. Nah, Kinanti ini sedikit membingungkan. Antara melayu atau Jawa. Tapi sepertinya Jawa. Aku yakin itu.

Aku mulai lagi memutar otak, membuka memori kecilku yang tidak mampu mengingat terlalu berlebih. Kali ini lebih fokus pada satu hal, nama dan orang yang pernah kutemui. Mulai dari Bu De, Bu Lek, Mbah Putri, keponakan, sampai pada guru les Fisika ku. Sama saja, tidak ada dalam pikiranku.

Sebenarnya akupun keturunan Jawa. Ayahku Betawi, ibuku Rembang. Aku lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga ayahku, jadi sedikit tidak paham dengan budaya yang ada di lingkungan keluarga ibuku. Menurut pengakuannya, namaku diambil dari nama kakek buyutku di Rembang.

Menurutnya, aku mirip dengan kakek buyutku. Entah mirip apa dan dari mananya, aku juga tidak terlalu memedulikannya. Tapi, kuakui namaku memang keren. Bahkan kalau boleh sedikit sombong, setiap orang yang menyebut namaku akan mengatakan, “Ksatria”. Namaku, Abimanyu.

“Astaghfirullahal adziem!!! Kinanti. Ki..nan..ti Itu..itu kan… Iya, benar. Aku ingat sekarang. Ya Allah, terima kasih Tuhan. Itu kan nama ibuku.”

“Alangkah berdosanya aku jadi seorang anak, bahkan nama ibuku sendiri aku tidak mengingatnya. Ampuni aku ibu”

Aku menarik napas panjang. Kuulangi sekali lagi. Lebih panjang. Aku menatap langit, matahari sudah mulai naik. Perkiraanku mengatakan, hampir pukul 09.00. Artinya, sudah tidak lagi pagi. Masih dengan perasaan bersalah, aku masuk ke dalam rumahku.

Sudah hampir enam bulan ini aku tidak mengunjungi ibuku. Kesibukan ini telah menjadi senjata pembunuh bagiku, sehingga untuk berkunjung ke sanak dan keluarga pun harus tergadaikan. Untung hari libur, jadi hari ini aku bisa memohon maaf pada ibu atas keteledoranku tidak mengingat namanya.

Ibuku memang wanita Jawa. Tidak perlu mengetahui namanya, dari dandanan dan wajahnya, semua orang pasti sudah bisa menebak kalau ibuku adalah keturunan Jawa. Wajah yang khas. Sosok yang aku telah dilahirkan dari rahimnya. Ibu, ampuni aku.

Aku mandi cepat sekali. Berganti dan memilih pakaian spesial. Kali ini, aku ingin terlihat seperti ksatria di depan ibuku. Aku yakin, aku gagah hari ini. Ibu pasti bangga. Anak yang selalu membuat tidur malamnya selalu singkat di waktu kecil, hari ini sudah besar.

Aku menuju garasi. Aku memilih vespa biruku untuk kukendarai hari ini. Kata orang, orang yang paling sabar dan paling setia di dunia ini adalah orang-orang yang mengendarai motor vespa. Masuk akal juga, karena tidak semua orang mencintai vespa maka ia dikategorikan setia. Kalau disebut sabar, karena seseorang yang mengendarai vespa jarang sekali ngebut di jalanan.

Jarak antara rumahku dengan kediaman ibu cukup jauh. Ibu tinggal di Bekasi, Pondok Gede. Berdekatan dengan asrama haji. Tidak mengapa jauh, yang penting niat yang kutanamkan. Aku ingin berkunjung padanya. Aku ingin meminta maaf padanya. Aku ingin bersenda gurau dengannya. Aku ingin kembali memanjakan diri bersamanya.

Di jalan, aku mampir di toko bunga langgananku. Ibuku sangat menyenangi melati. Aku membelikannya seikat melati, lengkap dengan kartu permohonan maaf dariku.

Aku tiba di rumahnya. Aku mengucapkan salam padanya. Lama aku duduk di hadapannya. Aku menundukkan kepala, berharap ia dapat membelai rambutku seperti dahulu.

“Ibu, anakmu datang. Abimanyu, bu”. Aku mulai membuka pembicaraan.

“Ini, aku bawakan bunga kesayangan ibu. Bunga Melati”, kuletakkan tepat di sebelahnya.

“Aku sekarang sudah kerja, bu. Jadi advokat cilik. Anakmu seorang pengacara, bu. Mimpi ibu tercapai, memiliki anak seorang pengacara. Ibu bangga kan sama aku?”

“Dulu, ibu pernah berpesan padaku. Tidak apa-apa dimulai dari sesuatu yang terlihat kecil, yang penting hasilnya nanti. Semuanya tergantung kesungguhan dan usahamu. Begitu kan, bu. Aku masih ingat, bu. Ingat sekali.”

“Tapi, hari ini aku melupakan satu hal, bu. Aku lupa nama ibu. Aku lupa kalau nama ibuku, manusia mulia yang memperjuangkan hidup mati kelahiranku bernama Kinanti. Aku minta maaf, bu. Sungguh, aku minta maaf.”

“Mulai saat ini, aku akan menulis nama ibu di setiap lembaran buku agendaku. Aku akan memajang nama ibu di dinding kantorku, di kamarku, dan di setiap ruangan yang aku ingin selalu bersama ibu. Agar aku tidak lupa lagi dengan nama ibu”

“Ibu sehat kan di sini? Ibu baik-baik saja kan di sini?”

Aku ingin sekali menangis. Dadaku sudah sesak. Mataku sudah berkaca-kaca. Tapi, kutahan tangisku. Aku ingin terlihat gagah di hadapan ibu. Kutarik lagi napas panjang, lebih panjang dari biasanya. Aku menenangkan diri. Hingga mataku tak lagi berkaca.

Aku mencabuti rumput-rumput kecil yang tumbuh di pusara ibuku. aku pegang nisan yang bertuliskan namanya. Aku membelai pusaranya, sebagaimana ia membelaiku saat mengantarkanku tidur.

Di sini damai sekali. Tidak ada suara keramaian yang memekakkan telinga. Tidak ada pikiran akan kesibukan kerja. Aku yakin ibuku mendengar setiap ucapanku tadi. Mungkin saat ini ia tengah tersenyum. Aku yakin ia bangga padaku.

Setelah berpamitan, aku menuju ke tempat vespaku diparkir. Aku merasakan ada sesuatu di mataku. Bulu mataku jatuh lagi. Sambil tersenyum, aku mengulangi kekonyolanku tadi pagi. Aku meletakkannya di telapak tangan kiriku. Aku mulai menepuk dan melafalkan huruf A sampai Z. Dan, pada huruf N, bulu mataku berpindah ke telapak tangan kananku. Aku tersenyum. Siapa lagikah yang memiliki awalan nama N dalam hidupku
Read More

KRITIK "SAKIT" SASTRA INDONESIA

Liza Wahyuninto

Pada tahun 1950, beberapa ahli sastra beranggapan bahwa kesusastraan mengalami kemunduran. Salah satu tokoh yang berpandangan bahwa kesusastraan Indonesia mengalami kemunduran adalah Sujadmoko. Dalam esainya yang berjudul Mengapa Konfrontasi, Sujadmoko melihat adanya krisis sastra akibat adanya krisis kepemimpinan politik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang menceritakan psikologisme semata-mata.

Ulasan Sudjadmoko tersebut mendapat reaksi keras terutama dari para sastrawan. Para sastrawan tersebut antara lain, Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, dan Boejoeng Saleh. Mereka mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia tumbuh subur. H.B. Jassin dalam simposium sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1954 mengemukakan bahwa kesusastraan Indonesia modern tidak mengalami krisis. Dia mengemukannya dengan bukti-bukti dan dokumentasi yang lengkap. Pada tahun 1955, dalam simposiun yang diadakan kembali di Fakultas sastra Universitas Indonesia, Harijadi S Hartowardojo mengemukakan pendapatnya melalui tulisan yang berjudul Puisi Indonesia Sesudah Chairil Anwar. Selain dalam simposium tersebut pendapat mengenai lahirnya angkatan sastra baru muncul dalam simposium-simposium yang diadakan di Yogyakarta, Solo, dan lain-lain.

Apa yang telah disampaikan oleh Sujadmoko tersebut sangat tepat jika dimunculkan pada saat ini. Saat yang menurut Faiz Mansur dalam ulasannya yang berjudul “Ragam Kritik Sastra Indonesia” sebagian orang menganggap, bahwa sastra adalah bidang marginal, terkucil dari gegap-gempita kesenian panggung dan televisi sekarang ini. Kita hanya menyaksikan eksistensi sastra pada panggung-panggung mini, atau acara bedah buku, temu penulis dengan pembaca yang pengunjungnya bisa kita hitung dengan jari.

Alasan utama bahwa kritik sastra harus berperan dalam membangkitkan semangat bersastra dan mencintai sastra. Pasca HB. Jassin yang memunculkkan angkatan Sastra Melayu Lama dan angkatan sastra modern hingga saat Korrie Layun Rampan yang menyemangati membentuk angkatan sastra 2000, minim bahkan hampir tidak ada kritikus sastra yang mewarnai perjalanan panjang kritik sastra Indonesia. Keadaan ini pulalah yang membuat kemasan sastra tidak menarik dan dinilai sebagai sesuatu yang marginal.

Bahkan menurut Putu Wijaya ketika berbicara dalam seminar bertajuk “Membuka Tabir dengan Sastra: Telaah Jejak Inspirator” yang diadakan oleh Universitas Diponegoro, Semarang, “pasca-Chairil Anwar tak ada gelombang besar dalam perkembangan sastra di Indonesia. Seperti Chairil Anwar yang mendobrak sastra dengan memperbarui bahasa, peran-peran pembaru sastra itu sebenarnya juga terlihat dari sosok WS. Rendra, Sutardji Chalzoum Bachri, dan lain-lain. Namun, para pembaru itu ternyata tidak menimbulkan efek besar terhadap dunia sastra”.

Tentu saja, Hal ini terjadi karena di Indonesia tidak ada kritikus sastra yang cukup berwibawa sehingga bisa menjelaskan arah perkembangan sastra. Hal inilah yang menjadi kerisauan bagi beberapa tokoh sastra Indonesia, menurut Putu Wijaya, “Kalau dulu, ada HB. Jassin yang menjelaskan karya-karya Chairil Anwar. Sesudah HB. Jassin, peran kritikus sangat minim. Ruang untuk melakukan kritik sastra juga sangat terbatas”.

Sastrawan Kritikus, Kritikus Sastrawan : Kekaburan Kritik Sastra Indonesia
Kekaburan kritik sastra di Indonesia mencapai puncaknya di saat para penulis (sastrawan) “ikut-ikutan” menjadi kritikitus. Kehadiran sastrawan kritikus-sastrawan kritikus ini mulanya memang sempat mengisi kekosongan kritikus sastra dan mewarnai dunia kesusatraan Indonesia. Akan tetapi, perkembangan ini lambat laun menjadi lahan saling “ejek” karya sastra yang dihasilkan oleh penulis.

Beberapa tokoh yang terlibat dalam pertentangan kritik sastra tersebut dikategorikan ke dalam beberapa bidang,yaitu; Para pakar sastra (akademisi-kampus): Rahmat Joko Pradopo (UGM), Panuti Sudjiman, MS. Hutagalung, Saleh Saat, Boen S. Oemarjati, Roman Ali, S. Effendi (UI), Th. Rahayu Prihatmi (Undip), Buyung Saleh (UNHAS). Seniman sekaligus pakar sastra: Sapardi Joko Damono, Arif Budiman, Subagio Sastro Wardoyo, Yakob Sumardjo, Darmanto Yatman, Gunawan Mohammad, Taufiq Ismail, WS. Rendra, HB. Jassin, Budi Darma, Suripan. Kritikus seniman: Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Abdul Hadi WM., Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan.

Dualisme jabatan antara penulis (sastrawan) dan krikitikus sastra ini berpuncak pada kemarahan para pakar dan pengamat sastra yang menyatakan bahwa kritikus perlu membuat jarak sehingga lebih objektif. Akan tetapi himbauan dari para pakar tidak menyulutkan api pertentangan di antara sastrawan kritikus tersebut.

Pertentangan ini Misalnya apa yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib, pengembaraan Goenawan Mohamad tentang polemic kritik sastra – meskipun berlangsung tidak kentara – sejak Simposium Bahasa dan Kesusatraan tanggal 25-28 Oktober 1966 di Jakarta sampai peringatan Chairil Anwar, 30 April 1967 oleh Direktorat Bahasa dan Kesusastraan bersama BMKN antara Motinggo Boesye, Goenawan Mohamad, Arif Budiman dan Taufiq Ismail versus Lukman Ali M Saleh Saad, MS Hutagalung dan lain-lain. Selalu cenderung memisahkan kedua metode (dalam kritik sastra), Ganzheit dan Analitik secara ekstrim, seolah-olah keduanya sama sekali tidak ada unsure yang bisa disentuhkan.

Akan tetapi, terlepas dari itu semua, yang perlu untuk diperhatikan adalah pembaca karya sastra. Selama ini pembaca tidak pernah dilibatkan dan diajak berdialog oleh penulis. Padahal, seperti yang pernah di katakan oleh Radhar Panca Dahana, ”Sastra memang semestinya dikembalikan kepada pembaca, baik secara teoretis maupun praktis.” Di tingkat teoretis penyingkiran pembaca dalam penelaahan sastra, membuat sastra itu sendiri hanya berputar dalam lingkaran analitik antara para kritikus, ambisi penerbit, atau biografi pengarangnya.

Miskin Buku Teori Kritik Sastra
Kritik sastra adalah bidang kesusastraan yang terus menerus berkembang di dunia. Sebagai akibat dari kemajuan teknologi, perkembangan kritik sastra dunia tentu mempengaruhi perkembangan studi kritik sastra Indonesia. Pengaruh ini dapat timbul dari kerja-kerja kritik yang dilakukan oleh kritikus-kritikus sastra Indonesia—baik dari golongan akademisi, sastrawan, maupun peminat sastra—terhadap karya sastra Indonesia yang selanjutnya mendapatkan tanggapan dari masyarakat sastra dunia, kerja kritik pada karya-karya berbahasa asing, atau sebaliknya: kerja kritik pada karya-karya Indonesia oleh kritikus-kritikus asing, maupun transfer pengetahuan dalam bentuk studi banding dan penterjemahan teks atau buku-buku teori kritik sastra.

Sayangnya, hingga saat ini, kesusastraan Indonesia dapat dikatakan terus saja miskin buku-buku teori kritik sastra. Buku-buku teori yang ada, kebanyakan merupakan buku terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir. Buku-buku terbitan lama itu pun benar-benar sulit didapat karena jumlahnya yang sedikit dan hanya dimiliki oleh kalangan terbatas.

Kesusastraan Indonesia memang sudah dinilai maju dan berkembang dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, dan dari angkatan ke angkatan. Akan tetapi kemajuan tersebut hanya dengan kemunculan karya dan tokoh sastra belaka, tanpa di dukung oleh munculnya teori baru terutama dari kritikus sastra yang tentu saja berfungsi sebagai analisa terhadap karya yang meliputi penilaian dan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.

Pentingnya kritik sastra menurut Murray Krieger dalam karyanya “Criticism as a Secondary Art”, karena kritik sastra bertujuan mengungkap keaslian sebuah karya, sebagai penengah antara karya asli dan kebudayaan pendukungnya, mendebat pendapat yang telah ada—baik yang dibuat oleh perseorangan, maupun hasil kerja tim, serta menjelaskan pada masyarakat bahwa karya sastra adalah hasil interpretasi pengarang terhadap suatu fenomena sehingga terkadang berbeda dan “mengacuhkan” kenyataan yang diakui masyarakat, untuk hal ini karya sastra perlu dilindungi karena karya tersebut perlu dipandang terlepas dari pengarangnya sebagai konstruksi yang otonom/berdiri sendiri.

Kemajuan kesusastraan Indonesia tentunya akan dapat dinikmati oleh semua pihak jika para penulis (sastrawan), pakar sastra (peneliti dan akademisi), pengamat sastra (pembaca), penikmat sastra dan kritikus sastra mampu menempatkan diri pada tempat yang semestinya mereka berada. Menghindarkan diri dari dualisme kerja tentunya akan mendukung terciptanya karya sastra yang bercita rasa tinggi.

Sebagai kritikus sastra, hendaknya juga tidak melupakan himbauan yang ditulis oleh TS Eliot dalam Tradition and Individual Talent (The Sacret Wood,
London: Methuen Co, 1960), “Kritik yang jujur dan apresiatif
diarahkan bukan kepada penyair, tetapi pada sajaknya. Jika kita
memerhatikan omongan kacau para kritikus di koran serta desir ulangan
populer yang menyusulnya, kita akan mendengar banyak nama penyair.
Sedangkan jika kita mencari kenikmatan karya, kita akan jarang
mendapatkannya.”

Daftar bacaan:
Ainun, Nadjib Emha, 1995, Terus Menerba Budaya Tanding, Pengantar Halim HD.. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Suryadi, Linus, 1995, Dari Pujangga ke Penulis Jawa, Pengantar Dr. Alex Sudewa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Murray Krieger, 1981, “Criticism as a Secondary Art”, dalam What Is Criticism?, editor Paul Hernadi.. Bloomingtoon: Indiana University Press.
Goesprih, Kritik Sastra (Catatan Ringkas Utk Keperluan Sendiri). (http://www.goesprih.blogspot.com, February 18, 2008)
Faiz Mansur, Ragam Kritik Sastra Indonesia. (13 Seprtember 2005)
Karya Banyak, Indonesia Krisis Kritikus Sastra. (Kompas, Senin, 28 April 2008)
Read More

JANGAN TULIS AKU

Oleh : Liza Wahyuninto

Sudahkan puisimu di sudut meja itu
Noktahkan saja huruf
yang tertinggal di ujung rindu
Kertas-kertas lelah membaca aku
Kau tulis dalam cinta yang tak kau punya
Menganiayai rasa

Letakkan penamu di sana
Biarkan tinta memerah airmatanya
Penuh di gelas kaca
Atau buang saja lewat jendela

Hujan berlari pergi
Mencuri basah luka semalam
Lalu dibawa pulang
Bersama mimpi-mimpi yang pejam
Hanyutkan semua tulisan
Aku pun perlahan-lahan hilang
Read More

ISTIQOMAH CINTA



Oleh : Liza Wahyuninto

Wahai Hati...
Bersabarlah dalam menanti...
Yakinlah janji-Nya adalah pasti...
Pada akhirnya kebahagiaanlah yg kelak kan diraih.

Wahai Jiwa...
Tenanglah dalam lara...
Percayalah bahwa janji-Nya adalah nyata.
Jangan pernah ragu dengan kehendak-Nya
DIA lebih tau mana yang terbaik untuk para hamba-
Nya.

Wahai Raga...
Tetaplah istiqomah dalam asa...
Cinta yang suci sedang menguji keimanan kita..
Seberapa sabar kita dalam menunggu...
Seberapa kuat kita saat tertatih...
dan seberapa tegar kita disaat rapuh...
Read More

ISTIGHFAR UNTUK SEMUA


Oleh : Liza Wahyuninto



Kita belum benar-benar bersimpuh
Untuk semua salah yang selalu kita anggap biasa
Untuk semua dosa yang selalu kita anggap sepele
Untuk diri yang selalu merasa benar sendiri
Untuk pemikiran yang ingin menang sendiri
Untuk sikap yang selalu ingin dianggap paling hebat sendiri
Astaghfirullahal ‘adzhiim

Kita belum benar-benar khusyu’
Untuk satu rakaat saja dari jutaan sholat yang kita dirikan
Untuk satu saja dzikir dari milyaran dzikir yang terucap di bibir
Untuk satu ayat saja dari entah sudah berapa kali Al-Quran hanya kita baca tanpa meresap di dalam hati
Astaghfirullahal ‘adzhiim

Kita belum benar-benar ikhlas
Untuk satu rupiah pun yang kita sedekahkan pada manusia
Untuk satu pekerjaan apa saja yang diberikan diamanahkan pada kita
Untuk satu ibadah apa saja yang kita kerjakan yang katanya lillahi ta’ala
Untuk satu niat kebaikan saja yang ternyata masih terselip upah
Astaghfirullahal ‘adzhiim
Astaghfirullahal ‘adzhiim
Astaghfirullahal ‘adzhiim

Tuhan yang maha pengasih
Pemberi kasih
Tanpa pilih kasih
Memuji diri akan kebesaran-Mu
Malu diri ini terus meminta, menggededor-gedor pintu-Mu berharap terkabul doa sedangkan Kau tengah mempersiapkan sesuatu yang istimewa
Malu diri ini tak sabar dengan ketentuan dan kehendak-Mu yang kalau Kau sudah berkehendak maka itu pasti adalah yang terindah
Malu diri ini mendikte setiap takdirmu yang seakan hamba lebih tahu dari Engkau
Astaghfirullahal ‘adzhiim
Astaghfirullahal ‘adzhiim
Astaghfirullahal ‘adzhiim

Tuhan
Alangkah durhaka diri ini
Diberi orang tua tapi selalu disakiti hatinya
Meminta tak pernah mengukur usaha mereka
Memaksa harus ada tanpa tahu apa yang tengah mereka derita
Diberi keluarga tapi mencari kesenangan yang tak berguna
Menghambur-hamburkan biaya, usia hanya untuk sebuah dahaga
Astaghfirullahal ‘adzhiim
Astaghfirullahal ‘adzhiim
Astaghfirullahal ‘adzhiim

Jujur, belum pernah diri ini sempurna berdzikir kepada-Mu
Jujur, belum pernah diri ini sholat dan hanya Engkau saja dalam ingatanku
Jujur, belum seharipun puasa yang kukerjakan dan hanya mengharap ridlomu
Jujur, belum pernah hanya Engkau saja tujuan dari tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan kalimat-kalimat indah memuji-Mu
Astaghfirullahal ‘adzhiim
Aku masih minta dipuji sebagai orang saleh
Aku masih minta dipuji sebagai ahli ibadah
Aku masih minta dipuji sebagai ahli dzikir
padahal pujianmu lebih indah daripada semua pepujian manusia di dunia
Astaghfirullahal ‘adzhiim

Syetan masih saja berbisik halus pada kami
Untuk suatu jalan yang menjauhkan kami dari-Mu
Menggiring kami pada gelimang dosa dan akhirnya kami malu untuk kembali pada-Mu
Seakan kami Adam dijanjikan keabadian dengan Khuldi padahal itu menuju murka-Mu
Astaghfirullahal ‘adzhiim

Saksikanlah,
Syetan ada dimana-mana
Di masjid saat kami sholat ia ada, menari di antara pikiran kami sehingga hilang nama-Mu di hati kami
Di mushola-mushola saat kami mengaji ia ada, menari di kedua mata kami menjelma kantuk tiada tara
Di majlis-majlis dzikir ia pun ada, bertengger di pundak kami agar kami berat untuk berlama-lama, di kaki kami agar kami merasa kram duduk lama, di pinggang kami agar kami geser kesana kemari, di pantat kami agar wudlu kami batal dan kami tak lama bersama-Mu
Dan bayangkan, syetan tak ada di mata kami saat kami di mall, di pasar-pasar, di toko perhiasan, di gegap gempitanya konser musik dan riuhnya antri menonton bioskop
Astaghfirullahal ‘adzhiim

Ya Allah, Ya Jabbar, Ya mutakabbir
Astaghfirullah untuk mata
Astaghfirullah untuk telinga
Astaghfirullah untuk hidung
Astaghfirullah untuk mulut dan lidah
Astaghfirullah untuk otak dan pemikiran
Astaghfirullah untuk hati
Astaghfirullah untuk kedua tangan
Astaghfirullah untuk kedua kaki
Astaghfirullah untuk perut
Astaghfirullah untuk kemaluan
Astaghfirullah Astaghfirullah Astaghfirullah


Read More