blog ini merupakan karya sastra yang berisikan kritik sastra, cerpen dan puisi

Wednesday, April 22, 2020

KATA KITA

Sudah kukatakan
sepenuh cinta dan manja
aku benci kita berjumpa
jika hanya sesaat
membuat rindu kembali sesat

sudah kuulang
berkali-kali
aku memintamu pulang
bukan untuk percintaan
tapi genapkan
luka yang masih ganjil di dalam

aku tidak diam
meski bibirku terkatup rapat
banyak kata-kata
begitu juga hasrat
telah menjadi pesan
kutitip pada malaikat

pada akhirnya
riuh jeritan dan panggilan
tidak pernah selesai dengan tangisan
air mata hanyalah hujan
hanyut di perairan
dan rindu percuma
hatiku yang kosong
ditinggal kenangan
Read More

MATAHARI DAN LANGIT JINGGA

Berpuluh-puluh jalan coba kususuri, mengintai bayang-bayangmu lewat senja di muka pintu, terkadang aku mengejar waktu, menuju ke rumah yang belum kita tuju, di sana ada matahari dan langit jingga, sementara di sini hanya hujan sedang menggila.

Kusembunyikan separuh hatiku di dalam tubuh puisi, ketika malam menyikat cahaya di paras rembulan sepi, padahal petang masih begini, mengikat kenangan di tirai pintu, sesekali angin merayu dan membuai, membujuk ingatan dengan manja, menggoda luka berkali-kali; hujan di luar masih tertawa enggan berhenti.

Kesepian ini bersambung lagi, tak pernah melepaskanku sendiri, kadang-kadang terasa  menikam dadaku, sesekali seperti kematian yang belum aku tandatangani dengan rindu...
Read More

Friday, April 17, 2020

TAHUN-TAHUN YANG KAU BAWA PERGI

Gedung-gedung lemas dalam rindu
Beberapa titik kenangan menghunjam laju
Deras mencumbu jalan-jalan yang telah kehilangan temu
Dimana bahuku selalu berpapasan dengan sunyi
Hingga aku gagal menghafal tahun-tahun yang kau bawa pergi
Pada musim yang pernah Januari.

Langit gelap menghiasi paras kota
Warna-warna tanggal dari bunga
Pesan-pesan angin jatuh dari telinga jendela
Sembunyikan dunia dari mataku yang luka
Cidera oleh kepergianmu tanpa melihatku yang menjatuhkan airmata, tanpa sengaja.
Read More

Thursday, April 16, 2020

SEMUSIM LAGI


Musim tanpamu
Aku sepi dalam rindu
Bunga menangis di ranting
Air matanya jatuh dalam puisiku
Menjadi sedih yang gering

Aku minta padamu kekasih
Jangan tinggalkan aku
Pada musim tanpa temu
Jangan pernah pergi dari mimpi
Agar aku dan bunga ini
Bisa hidup untuk semusim lagi

Tidak banyak yang aku mau
Hanya satu
Kembalikan hatiku yang dahulu
Sebelum kenal apa itu rindu
Sebelum terluka olehmu
Sebelum aku tau
Memuisikan senja menjadi biru
Read More

Saturday, April 11, 2020

RINDU TAK BERTUAN

Riak-riak rindu tak lagi sembunyi
Di dalam hati
Kini terbit dalam kata-kata
Kutuliskan sebagai rahasia
Yang menjadi jarak antara anak mata

Jelas aku sengsara
Waktu bagai menyakiti tubuh hati
Memberi mimpi-mimpi
Lalu menghempas ingin
Ke jurang rindu yang dalam

Aku menginginkan dia
Seperti puisi dambakan aksara
Terbina dengan sempurna
Istilah, bahasa, kosa kata dan makna

Namun kini
Aku bagai sebuah buku
Di perpustakaan biru
Tanpa huruf dan ejaan
Kosong tanpa tulisan
Read More

BERMIMPI DI BALIK LANGIT

Angin membawamu pergi...
Begitu halus, begitu sembunyi
hingga tiba-tiba kurasa kosongnya hati
seperti cinta yang dilahirkan sebagai bayi

Memarahi waktu...
bukan sifatku melampiaskan pedih ini padamu
pada takdir atau pada yg lain
meski kehilangan belum menemukan jalan pulang
kebencian sedang kubenamkan
dalam-dalam
melupakanmu dengan cara yang paling manis
seperti tajam pena yang tak pernah membuat kertas menangis

Berdiri sendiri di sini
mengkhayalkan mimpi-mimpi di balik langit senja
mengayuh luka di antara gejolak gelombang
dan kesepian karang
aku entah di mana, sayang
di hatimu aku tak bisa bermukim
berkelana di tiap penjuru musim

Aku ingin menjadi matahari
meski tidak jelita seperti bulan
setidaknya aku setia menemani
walau dengan cara menanti
hingga siang pulang ke dalam pelukan
aku ingin setiap kali terbenam
kita tetap saling memandang
kau melihatku mati dan hidup lagi dengan luka merah yang kau sebut puisi
Read More

PAGI PERTAMA FEBRUARI

pagi sedang meraba matahari di pucuk langit yang kembali muda,

rindu seperti burung-burung yang bersayap perak, hilang dalam silau cahaya,

laut menggigil perlahan, menunggu ombak sampai ke tepian, mencuri sedikit dekap dengan pasir dan menghilangkan jejak-jejak yang kupanggil

deru angin dan suara ombak saling merayu, sampai ke telingaku begitu sedih dan menyayat, seperti lolongan hati yang carik halkumnya, terkoyak

matahari yang tidak bertangkai, langit tanpa jendela, laut yang tiada jalan, kapal-kapal hilang...

kini kisah aku dan dia ada dalam semesta, meski tak bisa kusentuh, tetap terasa, seperti pagi, langit, matahari, laut dan jalanan ini yang menjadi saksi pada hatiku yang masih gagah berdiri...
Read More

Friday, April 10, 2020

AKU DAN WAKTU

Aku berkhayal, menemukanmu di tubuh angin dan kulelapkan sebentar rindu di sana, sebelum mimpi memberiku sayap, menggapai bahumu yang kiri di langit senyap.

Mencintaimu dalam diam, tanpa riuh dan keramaian, aku mengambil waktu, menyulam ribuan rindu dan kenangan, meski hanya beberapa malam kita sempat menganyam kehidupan di sebuah kota pertemuan.

Meski februari tidak selalu hujan, aku melihat jatuhan embun sebagai gerimis yang pulang, jatuh di birai jendela, sesekali bercinta dengan cermin kaca yang selalu lupa kubuka.

Di dalam hati, sudah terlalu dalam, kutanamkan kasih dan sayang, menyemai benih-benih harapan, hingga mataku yang tidur selalu mengimpikan dunia tanpa waktu, di sana kita lebih lama memeluk rindu dan bercumbu hingga langit dan matahari menjadi kekasih yang tidak menemukan senja dan malam di dalam sebuah pelukan.

Dunia itu, sudah kutau, hanya sebuah puisi yang tak pernah di beri. Namun cinta selalu bisa membina dunia, menyatukan semula runtuhan tembok-tembok kota, mengembalikan hati kita pada satu rasa, melangkah sempadan mimpi dan terjaga di sebuah negeri.

Suatu waktu itu, ketika angin memetik bunga-bunga rindu di bangku, aku terlebih dulu memelukmu meski tanpa tubuh, berharap luka bisa sembuh, seperti langit semalam, tekun  menjahit bulan hingga subuh.
Read More

TERBUNUH WAKTU

Diam-diam hujan menanam kenangan di dalam kepala, bayang-bayang senja dan jalan-jalan muram kota bagai helai-helai novel yang kubaca tanpa nada, warna lampu seperti matahari pecah di dalam anak mata, lesu tak berdaya, mirip kunang-kunang yang patah sayapnya, merangkak ke langit  legam, kosong tanpa cahaya.

Malam adalah jendela, sementara bulan separuh adalah sebelah pintu kenangan yang terbuka, di mana aku masih mengayuh mimpi yang jauh, di dalam perahu kecil, belayar ke angkasa, memetik sejumlah rindu yang tidur bersama bintang mati di sana.

Menunggu pagi tidaklah lama, namun aku lebih rindu untuk mendiami malam di segenap detak jam, bersimpuh kurangkai embun dan memulangkan pada hujan yang belum turun, masih menenun gigil di hati kekasih yang kemarau untuk pulang, sesat di dalam suratan.

Sudah berkurun, masih belum ada matahari, malam menjadi jurnal yang kutulis tanpa konsonan, membaca rindu yang semakin asing, luka berkali-kali belajar kering, meski selalu ada air mata.
Read More

SURAT CINTA LAMA

Ku bakar surat-surat cinta kita, meski kenangan tak sempat mengabu, kuadukan pada hujan separagraf permintaan satu hal yang selalu berdebat denganku; rindu.

Surat-surat itu tidak banyak, hanya sekeping ucapan hati yang bersambung di tiap malam sunyi, belum nyenyak, barangkali takut pada mimpi atau gusar tentang huruf-huruf yang pergi, gagal mengejamu lagi.

Aku hanya terbakar hati pada matahari, pelan-pelan surat cintaku padamu terbakar dalam sepi, sisa-sisa hitam jatuh di lubang gelap, berteriak lalu senyap.

Rindu dan aku, kembali menjadi orang asing, dua sosok yang menyimpan namamu sebagai awal pertama kali, pernah akrab kemudian dihasut luka, aku dan rindu saling berperang dan lupa tentang hati yang terbunuh oleh keadaan.

Tersudut oleh waktu, jarum jam lelah membaca angka, suatu musim di kamar tanpa jendela, aku mencoba untuk menjengukmu di luar sana, meski riuh dan ramai mengatakan aku gila, surat cinta tetap kubaca bila saja hujan mengunjungiku dengan hiba, setelahnya, dalam-dalam kutikam sedihku dengan air mata.
Read More

PESAN RINDU

Untuk Bunga Citra Lestari saat meninggalnya suami tercinta

Dedaunan ini seperti kelopak waktu yang gugur dari mata hari sore itu, ketika langit dan jalan saling menulis rindu, tentang kau dan aku, tentang mimpi yang tersangkut di ranting malam, saat Tuhan mencabut nyawamu.

Aku terkapar di samping bulan, tersudut gundah, hatiku terbelah dua, seperti bulan kita yang pecah, darahnya mengalir ke sungai kenangan, banjir merah di hulu menghanyutkan ku ke lautan duka, menyapu semua warna, bahkan biru yang kujumpai di matamu, setangkai bunga kering yang menyisakan wanginya di telaga jiwa, bening dan tidak lelah memberiku udara.

Lalu air mata, begitu tersiksa, menyampaikan segala carut marut pedih luka, tak terbanding yang kurasa, mimpi-mimpi kembali berjalan di angkasa, sementara jalan menuju rumah kita mengantarmu pergi dengan terpaksa, seluruh aku yang terikat di dalam rohmu, jasadku pun sudah hancur bersama.

Apa yang terlihat, aku yang bangun pagi, memandang kosong, kantung mataku sangat berat, kelopak waktu bersarungkan warna-warna musim berserakan, basah dibujuk hujan, pelataran seperti langit sepi, hilang intonasi.

Pun jalan ini masih menadah rindu, bunyi telapak kaki dan deru angin saling menyulam pesan, sajak-sajak yang kudengar dari malaikat semalam telah menjadi catatan.

Kau telah pulang, bicaralah pada Tuhan, aku sedang berdandan dengan keimanan, menunggu kematian tidaklah menakutkan, di sana lukaku akan sembuh, meninggalkan semua keluh, karena dekap kita kembali penuh.
Read More

KARMA CINTA

Kau sudah menjadi sajak, terbit dari pohon-pohon yang berdiri di pinggir kenangan. Kelak daun-daun kering menyimpul rindu pada angin dan tanah, sementara ia remuk lalu menyatu kembali dengan masa lalu, seperti wujudmu dalam seluruh hatiku sebelum luka digunting waktu.

Hanya bayang-bayang di separuh wajah matahari petang, aku mencuri redup ingatan dari bening langit, menjahit sejumlah perit, diam-diam kuisi perihal sakit di dalam sebuah kotak di dalam almari, menabung beberapa helai mimpi dan mencampur dengan beberapa tetes hujan yang pernah jatuh di dalam hati.

Aku menulisnya lagi, berkali-kali seperti kenangan yang mengayun segala rindu di sini, terasa tubuhmu begitu dekat, nafas yang hangat, aku seperti angin yang menjadi udara, mencari di mana letaknya rasa, singgah dan mencoba untuk hidup semula, setelah mati dalam karma cinta.
Read More

YANG TAK PERNAH KEMBALI

Berandai-andai di sini, di bawah cahaya bulan yang mendesak rindu di pucuk-pucuk kayu, aku seperti layang-layang yang memetik pesan di tiap hembusan angin, menyimpannya di dalam saku, meski nanti ia tetap kosong meninggalkanku, seumpama kau dan waktu, mempermainkan hati, membiarkanku menebak rasa ini sendiri.

Melepaskanmu di puncak bukit, pergi mengikut matahari yang hilang diseparuh langit, aku sudah biasa berbaring helaian hari tanpa berharap kau kembali; wanita kenangan yang masih gagal kutulis dengan konsonan, masih gagal kueja dengan perkataan.

Kau angin, menyapa di setiap perjalanan, menyampaikan kabar tentang bunga dan ranting, mengantar benih musim ke dalam sajak-sajak yang selalu tenggelam di dalam mataku yang hujan.

Aku berharap sepi akan memberiku sayap, ingin melepaskan tubuhku yang seluruh dan mengirim sunyi ke langit tujuh, sebelum kembali menghitung pesan ditubuhmu, mendekap dadamu yang buku, mengulang-ngulang rindu di dalam cumbu, meski itu hanyalah mimpi yang selalu pagi, aku telah mencintaimu dengan hati,

"Menunggu Tuhan mengirimmu sekali lagi."
Read More

MENGEJAR MATAHARI

Sudah terlambat, ia tenggelam bersama kenangan di ujung langit merah semalam, meski hari ini ia kembali datang, suasananya tak lagi sama, sangat beda, hingga rindu menjelajahi dada, ingin pulang pada senja yang hilang dalam matamu yang separuh bulan, sebelum pejam.

Aku mengerti tentang jalan, walau tak lagi bisa kumaknai dengan hujan, setelah Februari tergesa-gesa menulis perpisahan, aku memasang lampu-lampu di langit, menggantikan matahariku yang enggan, memeluk tangkai malam dengan sekuntum mimpi yang luruh di birai mata, menjadi tangisan.

Malam terlalu panjang, aku masih mencari matahari yang dicuri, di helaian hari bulan atau tanggal yang masih bergerimis di angka-angka usia, sepanjang bilangan rambutku yang mulai putih oleh bicara-bicara malaikat di jendela.

Kamukah matahari atau aku? Kita saling mengejar rindu di sebagian senja kemarin dulu dan memasuki ingatan di kepala waktu, mencampur warna di gelas puisi, coba menumpahkan pelangi, namun matahari tetaplah matahari yang lupa kuberikan hati.

Perjalanan belum selesai, walau kita sudah sampai, aku benci untuk mengerti satu hal;

"Sehingga cinta menemukan kita lagi, meski bukan untuk saling memiliki."
Read More

MENUNGGUMU MEMULANGKAN RINDU

Aku membayangkan mu, di tiap kepingan waktu yang hanyut oleh hujan itu dan beberapa helai rindu melayang ke dalam mataku, membentuk kenangan dan wajah yang selalu ingin kulupakan.

Di jendela kayu, sepi menopang dagu, sebelum mencumbu ruang kamar yang lembap dan basah, menikmati kesendirian yang tak pernah patah, tegar pertahankan luka dan berserakan air mata.

Hujan sudah pulang kepada lengkung pelangi, aku mencari matahari di sudut langit, barangkali matahari akan kutemui lebih dari satu dan aku bisa berharap kau akan kembali lagi padaku, meski bukan seperti dulu,

"Cukuplah untuk kau pulangkan rindu..."
Read More

LUKA YANG TERSESAT

Lalu hujan ini, hujan yang sama kemarin dulu ketika ia meratah basah tubuh kita yang rindu,  menyulam lagu  di dalam hati hingga kita beku kemudian tunduk pada sepi yang mengusap air mata di pipi.

Terlalu sinonim, sajak dari hujan dan angin yang merembeskan gerimis di pelataran, sementara sekaki payung terpelanting, menunggu hening yang masih jeda di pertemuan waktu, antara kenangan dan rintik-rintik di jendelaku.

Deru ini seperti alunan harmonika, kadang-kadang berubah menjadi not-not yang jauh untukku dengar, suara langit yang dibawa jatuh ke tanah, mengadu tentang perjalananmu ke rumah, masih di mana entah,  bimbang tentang mawar di dalam vas tak lagi merah.

Padahal aku sudah pasrah, ingin kujerit pada langit, "sudahlah!"

Namun air mataku menghambur, suaraku terasa hancur, kalimat-kalimat hilang harakat, aku tak dapat menyatukan vokal dan konsonan di dalam sekeping surat, bahkan alamat.

Luka ini tersesat.
Hening itu tiba, setitik dua hujan tak lagi bersuara, tiba-tiba begitu romantis berceceran di cermin kaca, seperti membujuk ku untuk melihat di luar sana, menjahit mataku dengan mesra, jalan yang lengang dan bayang-bayangmu yang pulang, aku mengejar pintu yang makin pergi, ingin menanti tapi hati sudah memilih mati.
Read More

BERPAMITAN PADA KENANGAN

Semalam, setelah pamit pada kenangan, sebentar kurehatkan hati dan fikiran di lembar kosong tanpa perkataan, lelah membaca sajak-sajak rindu hingga luka air mataku, letih mengurai maksud suratan yang tak pernah terjawab oleh keadaan.

Pun di langit itu, senjakala masih mempurnamakan waktu, matahari gelongsor jatuh, ingin aku tadah genggamku, tapi ia menyuruhku diam dan pergi, membiarkan ia merawat perpisahan itu sendiri, tanpa membuat kau dan aku sakit hati.

Meski cahaya itu bagai tali temali yang mengikat gelap, menyuluh mimpi yang tertinggal di antara butiran pasir, angin selalu memanggil sepi mengoyak kemilau warna, bisik-bisik ombak yang berpangkalan di ujung dermaga mengais-ngais resah yang menangis di dalam dada.

Senja perlahan menjadi jendela, tempat ku menjenguk kenangan dan luka, laut ini berbingkaikan musim pelayaran yang tak pernah pulang, bintang-bintang sudah lama hitam, rumah api tak lagi kelihatan, jalanmu ke hatiku pun hanyalah menuju kematian.
Read More

TENTANG HUJAN, MALAM DAN MATAHARI

Aku melukis bulan di atas langit, persis purnama di kelopak hujan yang menyeramkan semalam, inginku sentuh dengan pejam, lalu membayangkan mu ada di depan mata, mengecup bibirku yang kehilangan asmara.

Kembali kucatat namamu, di kertas yang basah oleh luka, meski bukan hatiku di sana, tetap pedih yang sama kutahan, tak mampu bergumam, pelan-pelan kutelan jeritan.

Kenangan menjahit namamu, aku merasa rindu semula mengoyak air mata, sementara derai hujan pulang ke bilik sepi, berkongsi rahasia dengan mimpi, hingga pagi semula bercerita tentang luka ini pada matahari.

Tak pernah ada cara untukku bertahan, mengingatimu adalah jalan yang kupilih, meski pedih. Mencatat segala hal tanpa sengaja, seluruhmu yang masih aku; rindu.

Hujan, malam dan matahari kugubah menjadi lembar-lembar puisi yang kusimpan, di bagian paling sunyi; berkali-kali ia menggetarkan denyut nadi, kenanganmulah yang menggali aku kembali, pulang dari mati, untuk hidup lagi meski tanpa nyali.
Read More

CATATAN SENIN

Aku sedang berfikir...
tentang mungkin...

Bunga-bunga trotoar hilang warna digilis roda waktu, pergantian musim mengharuskan aku berlari ke seberang, melangkahi jalan-jalan yang terbelah dua, oleh sengatan matahari dan dingin hujan yang dini.

Bukan aku mengejar kenangan...

Ingatan ini juga bukan simposium atau galeri tentang kerinduan, sedikit hanyalah cerebellum yang masih mengayuh peran.

Waktu yang hilang...

Sudah kubebaskan tanpa penyesalan, meski sedikit tersinggung dengan puisi-puisi bunga troatar yang kelaparan dan secangkir hujan yang tumpah di matamu, sayang.

Bergumam...

Cara yang tepat sekarang, untukku mengunduh sepi dari hati ke bilik puisi dan menunggu luka berasimilasi dengan sunyi.
Read More

KITA

Kita masih belum pulang,
mesti senja telah luruh dalam dekapan.
Kita menunggu langit sembuhkan bulan
yang luka ditikam pisau kenangan
Read More

MUNGKIN

Mungkin diam ini yang paling panjang...
Dan jika aku hilang...
Pintaku jangan kau benci kenangan...
Karena disitu cinta kita pernah berjuang.
Read More

WANITA APRIL

Sudah dekat, hujan yang belum pulang mengetuk cermin, angin sampaikan kabar libur musim semalam kian hampir, daun dan matahari menyentuh goresan langit kelabu, saling cemburu, kemudian rindu pada senja yang belum ungu.

Terbayang-bayang sehelai waktu, bergerak dan pernah melaju membawamu tiba-tiba padaku di April itu, senyum merah jambu, bibir nipis yang selalu kupanggil desir, melayang layang dan singgah di pipi, menulis kisah hati yang kembali digores puisi.

Kau. Wanita April di ujung jalan menungguku, membuka kado kenangan hari esok, warna-warna pelangi di dalam kotak, pernah kusimpan sebagai impian yang ku kutip dari taburan hujan yang mencecah bibir matahari di bingkai jendela yang retak.

Masih belum pergi, meski bulan berganti, harum setangkai rindu tetap bersemi, kata-kata berkelana, mencari maksud tentang rasa yang belum bisa kurangkaikan sebagai cerita, lalu kuletakkan hatiku di dalam dadamu, menjadi buku yang tak berhelai, sekeping puisi kita yang belum selesai.
Read More

ENTAH PADA SIAPA

siapa yang bertanya,
"Masih bisakah melupakan rindu kita?"
suara dari jendela
kadang-kadang seperti di dalam pikiranku saja
sesekali seperti nada angin menghela
meski hanya bunyi gerimis jatuh di kaca

siapa yang menjawabnya
rindu itu masih begitu
tidak merah atau biru
masih membekas pada luka
intim dengan kenangan
menyiksaku perlahan-lahan
meski malam itu yang ada hanyalah hujan
dan sepotong bulan yang hilang

tanya dan jawab tanpa kata
diam-diam basah mataku yang senja
matahari tergelincir dari dunia
tenggelam di sebelah sana
membakar sajak-sajak tak berkoma
dan sekeping hatiku di dalamnya
ikut mati bersama

"Entah pada siapa."
Read More

SEBAIT

Malam sudah menutup pintu, mengurung aku dengan kesepian di bilik pagi yang belum tumbuh matahari, sekeping hati di dalam buku puisi, menunggu disentuhmu untuk sebait tulisan romantis mengenai rindu.

Bilik tanpa jendela, buku tanpa halamannya, helai-helai daun menjerit di luar sana, sementara bait-bait masih gemetar menyulam suara hujan dan desah bulan di tepi ranjang, mengisi baris kosong yang masih telanjang.

Kita belum sempat bercinta, tapi asmara pun sudah melepaskan layarnya, angin menggiring musim pelayaran yang jauh, di mana aku ingin kita saling sentuh meski hanya lewat drkapan tanpa tubuh.

Terserah waktu, jika perjalanan di laut adalah nautika yang tak pernah mengizinkan pertemuan, aku tidak akan mendesak, mencintaimu dalam diam adalah cara hatiku bekerja dengan setia, hingga akhirnya kau pulang melihatku, meski hanya kenangan yang kau catat di dalam buku.

"Tulislah aku."
Read More

MENCATAT HATI

Mengurai kesepian di sini, rindu jatuh berkali-kali di jalan-jalan yang pernah engkau tapaki yang hilang dibakar mentari.

Bukan aku  menoreh kembali kenangan, tapi hati masih mengenang, seperti ini malam jendelaku membingkai separuh bulan dan separuh langit telanjang.

Berceritalah tentang suratan, pagi yang masih bayi merengek dalam buaian sunyi, matahari masih jauh dari langit, manakala mimpi dalam perjalanan pulang, memunggah sealmari waktu kemarin ku yang tertinggal di dalam saku bajumu.

Aku masih terlentang, lampu kamar yang suram serta bayang-bayang di dinding saling menikam, dingin tak lebih dari ingatanku pada pelukan terakhirmu disini, ketika rintik-rintik hujan sayup-sayup pergi, mengiris lukaku yang mati.

Sudah biasa, aku memeluk tubuhku sendiri, lalu membakar rindu di malam-malam sepi, hingga birahi terlucut dari puisi, tergeletak di ujung lipatan kertas, menjerit keras, klimaks sedih yang belum puas.
Read More

IZINKAN AKU

Semalam, aku berdiri di depan pintu ini, mencuri sedikit matahari dari tembus kaca yang melewati mata, ku menangkap kenangan dengan keriput yang tak terasa, lalu senja di langit tak sempat aku sapa, lantaran sibuk menyeka lebihan rindu yang melintir dari dada.

Izinkan aku memanggilmu kekasih, meski belum berkisah, di bab-bab yang kutulis tentang mimpi hingga penaku patah di jari, aku tak ingin lebih sedih dari hujan yang merintih, tak ingin lebih luka dari pisau yang sengaja mengiris kenangan, aku ingin diam-diam jatuh dalam pelukan dan sembunyikan hatiku di dalam hatimu, sayang...
Read More

LANGIT YANG TAK BERKATA-KATA

Meski berkali-kali ia menjadi senja dan mengutip mentari di dalam dada, hingga malam tumpahkan gelap dan sunyi, ia masih tidak sembunyi dan ketika pagi bercerita tentang mimpi yang hilang dari ranjang, ia masih tetap mengisahkan hujan yang menangis di jalan-jalan.

Ia tak pernah berkata-kata, langit yang menulis seluruh semusim dalam satu rasa, mengeja kerinduan di separuh Maret yang tenggelam dalam air mata, menetes dari luka yang gagal dijahit waktu, cecerkan semua kenangan tentangmu.

Langit itu beku, seperti tungguku yang sudah menjadi batu, hujan di sungai-sungai dan bukit-bukit mu, perahu-perahu kecil yang memunggah rindu, ikan-ikan yang meloncat ke langit, menjadi bintang di malam-malam yang sempit, selalu kulihat di langit kotaku, seperti matamu yang jauh menatap sendu.

Langit ini kehilangan bicara, walau dulu ia selalu mengisahkan pelangi dan senja, namun setelah semusim hujan datang dan kau tak pulang-pulang, semuanya mencair dan hanyut bersama kenangan, langit ini tak ingin lagi berbincang.
Read More

PERMINTAAN HATI

Aku melipat matahari di ujung pelipis pagi yang masih mengantuk, juraian gerimis sudah berhenti, titik terakhir mendekapku dalam selimut, menjarah sepi di beranda hati dan mengulum rindu di dua belahan bibir ini.

Cepat-cepat jendela memanggil angin, sepatah dua kabar tanpa pesan berserakan di kertas-kertas yang carik semalam, kenangan menggagahi fikiran dan mencantum kembali keping-keping wajahmu yang berkecai terhempas di tembok perpisahan.

Dekaplah aku meski tanpa rindu, aku hanya ingin sedetik membaca degupmu, mengeja waktu dan akan kulepaskan semua ke dalam udara, terbang ke langit dan hilang di sana, sementara cinta perlahan-lahan meluruhkan kelopaknya, aku telah meminta membunuh rinduku dengan sederhana.
Read More

SEORANG AKU

Pria itu yang raganya kau tumbuhkan dari rasa rindu yang menumpuk, lalu kau datanginya dengan cinta, kau buka dadamu, kau perlihatkan merah, ghairah, sehingga dia mulai dewasa dan mengeja-geja asmara dalam gelita.

Pria itu kau serupakan dengan musim, kau singgahi dan pergi atau kemudian kau ganti lewat hati, dia mulai berkenalan dengan luka dan beranjak ke negeri sepi, memeluk perasaannya sendiri, mengasuh mimpi-mimpi dikamar yang terkunci.

Pria itu seperti bangku sunyi, tiada lagi labuhan rindu atau angin merdu yang membawa pesanmu, daun-daun kering enggan berbunyi, jatuh dengan senyap dan membiarkan kenangan pergi, tak pernah hujan dari langit memanggilnya kembali.

Pria itu perlahan-lahan hancur, dia tidak mati, berkeping-keping ia menjadi puisi, selalu dibaca oleh air mata, helai-helai basah berserakan di lantai pustaka, sebuah jurnal koyak oleh masa lalu, tak tertulis olehmu,

"Setangkai aku, pria tanpa bunga di musim rindu."
Read More

DI KOTA BIRU

Kusimpan lambaian terakhirmu di kota biru...

Sebelum kereta ini berjalan, berlembar-lembar surat telah menjadi sayap, pergi dari jendela dan terbang ke dalam udara, jatuh di sepatu dan mengikutmu pulang ke dalam kenangan itu.

Beberapa mil, rindu yang menghantam, nyaris tangkai jantung ku putus, ingin aku hentikan kereta ini dan berlari mengejarmu yang dibawa matahari ke rumah senja, meski di dindingnya jingga sudah tertanggal di sana, aku sudah lama mengutip warna-warna dari hati kita dan ku tambalkan di atas luka.

Segerombolan hujan, menitik pedih di atas bumbung kereta, ku bisikan percakapan mereka, tak satu pun tentang kita, hingga senja tenggelam di dalam tubuhku, aku merasa pipiku sedih digores air matamu.

Stasiun yang tak pernah sepi, begitu ramai kita berdiri, tak saling mengenali, cerita-cerita pergi yang tak kembali terduduk di kersi sunyi, nada-nada pilu bagai gesekan biola yang membunuh lagu, aku hanya merasakan dari dalam gerbong, beberapa potong doa yang koyak serta penantian yang tamat setelah memperkosa beribu hasrat.

Pun kita, sudah terlerai dalam bencana, begitu jauh mereka memasang jarak dan perbedaan, menaklukan logika dan alasan, hingga bunga-bunga rindu menangis saat berkembang.

Biarlah aku memilih jalan, meski cinta tak bisa menyatukan, kepergian tak lebih dari harapanku untuk melihatmu bahagia, karena aku tahu tidak mudah menyusun kata-kata,
di dalam sebuah algebra...
Read More

LANGIT SENJA

Perjalanan senja meluruhkan kenangan dari langit, butiran hujan dan remang lampu, luka dan juga rindu...

Sesosok ingatan berlari dan melayang di jalan-jalan, kemudian pulang mencatat nama mu di dalam buku musim, sebagai matahari yang tenggelam, terkadang sebagai bulan yang tak pernah datang.

Mimpi-mimpi meloncat dari mata ku, hancur sepanjang malam, tak sempat menyatu karena kau terlalu sibuk mengetuk pintu sementara aku leka menjahit harum mu di dalam selimut biru.

Gelap tumpah merayap, mengosongkan cerah hingga jejak-jejak kenangan hilang ditelan hujan, bercak-bercak adalah bekas air mataku yang lupa diusap malaikat, setelah langit menutup pintu, aku mengunci asmara ku, luka; tak bertemu.

Meski akhirnya di bawah langit tanpa warna, aku mengantarmu untuk pergi bersama sebuah bagasi, di dalamnya ku titipkan banyak kenangan dan juga mimpi untuk menemani mu sepanjang perpisahan ini.

Aku keliru, helai-helai sajak ku kehilangan tunggu, narasi-narasi ku hanya keluhan yang tak berpenghujung, langit senja kurasa makin jauh tertinggal di belakang, sedangkan sementara dadaku tertikam, rindu tercecer darinya, detak-detak ku menggelepar dan bingar.

Sekejap, mataku dan lampu-lampu mirip, padahal sepotong bulan berendam, cair dalam mata hitam, aku membuka pejam, langit di atas ku menggulung malam dan wajah mu yang pernah tergantung di bintang luruh di ujung jalan...
Read More

TIDAK LAGI MENEMUKANMU

Kita pernah seperjalanan.....

Pernah mengartikan logaritma rindu di dalam silabus puisi tentang senja, hujan dan langit kelabu, meski itu bukan bulan yang kudekap dalam pengikat kata tentang wanita setia.

Menyeret langkah sepanjang kaki lima kota, tembok-tembok malam belum runtuh oleh sepi, mimpi masih berkeliaran di dalam cahaya, hinggap di dalam sederet kepala, inginku tangkap dan memasukannya di dalam selimutku yang masih jaga; menanti pulangku dari mencarimu di sebelah pintu yang patah hatinya.

Hening berlari, mengisi saku dan sepatu, suara angin tidak bisa aku baca, lalu pesan seperti peluru-peluru yang menembak dada, tak sempat kurasa sakit yang menghujam nyawa, suara-suaramu hanya kosa kata yang hilang vokal, janggal tak bisa menggenapkan mati yang kupunya.

Aku pernah memegang setangkai hujan di sana, ia mekar lalu berjatuhan di atas pipiku yang pasi, mencurahkan cerita-cerita tentang kenangan yang terlalu dini, masih bayi, terlalu naif untuk kita maknai, lalu aku membuka lembar, kutikam beberapa paragraf rindu yang ku gumpal di dalam huruf-huruf tanpa tanda tanganmu, lebu.

Sungguh, aku berjalan terlalu jauh,
bahkan aku tidak pernah berhenti, berkali-kali kereta ini aku naiki, berulang-ulang aku kembali ke stasiun ini lagi, malam-malam yang sama, sajak-sajak yang serupa, tidur yang tak pernah lena dan sepasang hati kita yang tak pernah berjumpa tidak lelah menelan air mata.
Read More