blog ini merupakan karya sastra yang berisikan kritik sastra, cerpen dan puisi

Thursday, October 24, 2019

LAMAR

Aku kemudian memutuskan untuk tidak lagi mencintai yang lain
Menerima dalam hati yang penuh kamu sebagai seseorang yang nanti terus akan bersama
Meminang duka dan laramu
Menjamu suka dan bahagiamu
Tidak berjanji tapi berusaha menepati yang penah terpatri
Sesuatu yang mungkin tidak bernama juga tak berwujud
Hanya bisa dirasa
Dalam batin dan jiwa yang menerima
Juga tak membawa segala isi dunia
Sepertinya aku hanya membawa diri sendiri untuk masuk ke dalam kehidupanmu
Meminjam hari-harimu untukku
Lelah letihmu
Kesal dan marahmu
Kebosananmu
Mengurus aku yang manja dan banyak keluh kesah
Entah, aku atau kamu yang melamar
Tapi ini semacam penerimaan dengan kesadaran
Aku butuh kamu terus di sini
Bukan saja menemani
Tapi berbagi hari
Kita berdua
Berjelaga
Bukan soal bahagia atau duka nantinya
Tapi untuk tetap bersama di dalamnya
Menghadapinya sama-sama
Read More

DI KEMUDIAN SENJA

di kemudian senja
matahari kehilangan sayap
ia tak bisa lagi terbang
lalu jatuh tanpa dekap
terhempas ke lautan

ombak menangisinya
sepanjang malam kesedihan
belum cukup menceritakan
langit yang patah hati
dan mentari yang mati

bisikan-bisikan kecil
di antara suara angin dan jeritan batu
terbenam di dalam pasir
sebentar merayu bulan
yang tumbuh di dalam luka
kemudian ditelan gerhana

yang kujumpai
hening
lukisan tergantung di dinding
langit dan matahari itu;
kita yang kemarin
Read More

Thursday, October 17, 2019

MUSIM TANPAMU

masih bisakah aku melanjutkan mimpi
meski hari ini tak seperti kemarin
hujan dan matahari saling berkelahi
hingga langit terbakar sepi

bunga tak lagi tumbuh di sini
rumput mati
pagi hanyalah selembar kenangan
yang hilang gigilnya di dalam selimut semalam

atau sebaiknya aku pergi
mencari musim satu lagi
yang pernah kita lukis di dalam puisi
di dalam kata-katamu
di dalam bacaku

andai nanti
kita tak pernah saling mengenal
anggap saja aku hati yang pernah kau curi
dan padaku
kaulah wanita yang tak pernah bisa aku miliki
meski cinta ini besar sekali
Read More

SUNYI PAGI

Guguran embun jatuh di atas kulitku yang dingin, mengupas diam di antara lubang kecil, senyap pagi yang kubaca sebelum matahari, kembali menggali hati, jauh ke dasar, menjamah gigil yang belum pernah.

Mataku sunyi, semalam ia menziarahimu di dalam ilusi, seberkas lukisan dalam ingatan yang belum sudah, kuasnya masih basah, bercak-bercak biru dan merah mulai lebam dan muram.

Tak pernah lama begini, aku bergulat di dalam pagi, membiarkan tajam embun menembus langit lalu jatuh ke dalam hati, perlahan luka kembali lembap, bercampur rindu yang semula hangat.

Di mana matahari? Dinding pagi begitu gelap, jalannya berkabut sepanjang surat, wajahmu menelan cahaya, mataku terpaku di sana, bayang-bayangkah yang menjelma atau khayalanku yang rebah dalam pesona?
Read More

MENCARI ESOK

Lalu sajak-sajak rindu ini untuk siapa, setelah kesepian menanam benih luka di dada dan aku hanya bisa menyimpan mimpi-mimpi di dalam almari, setelah hatimu tak lagi di sini.

Puluhan sepi saling menggalas kenangan, menghempaskannya di dalam ingatanku yang kian rapuh, di malam-malam sunyi, di mana selimut tanpa tubuh adalah mati yang paling ngeri.

Dan esok, begitu lama harus ku arungi malam, untuk menjumpai mentari di pucuknya, malam yang pernah berjanji untuk indah dan tidak hitam, kini bagai arang yang dingin, menyimpan geliat hujan dan seratus pertanyaan tangisan yang belum ada jawaban.

Meski, hari ini adalah esok yang terlekat di jarum waktu, memenggal sejumlah rindu pada angka yang tak pernah ada nol, tetap saja semuanya menjadi kemarin, seperti mataku yang disapu angin, kering setelah embun gagal menulis basahnya di kaca, meninggalkan aku sendiri di ujung cerita.
Read More

Monday, October 14, 2019

DI KAMARMU KEKASIH


Kekasih,
singgah saja di sini, kita bersama merapi malam, menutup pintu hitam lalu meletakkan mimpi manis di bantal agar aku tidak merasa kehilangan.

Kekasih,
biarkan saja bintang-bintang sembunyi dalam kelambu langit, gelap kamar ini akan terang dengan sinar matamu, kita mendaki bulan, meminjam sepotong senyuman, sementara purnama masih indah di halaman.

Kekasih,
bantu aku memetik sunyi di sini, sebelum ia meranumkan hati, karena setelah engkau pergi, aku tak berdaya menyimpan bagasi ini di dalam lemari. Terlalu berat untukku unggah, luka dan rindu saling bertelagah hingga kenangan pun tumpah.

Kekasih,
setelah engkau pergi nanti, tolong kunci kamar ini, aku ingin sendiri menemani hati, menelaah sejumlah hari yang gugur di dinding sepi, menterjemahkan kembali bayang-bayangmu di tiap penjuru, agar nanti kau tahu aku sebagai rindu yang selalu menangis di kamarmu.
Read More

Wednesday, October 9, 2019

ICH BIN VERLIEBT

Ku tak pernah memanggil namamu
Tak jua lambaikan tangan usai bertemu
Karena mataku tlah menyebut namamu
Dan seutas senyum tlah ungkapkan
esok kan ada pertemuan agung menghampiri
Tak ada hujan yang tak reda
Tak pula ada purnama yang sempurna
Pikiran hanya dapat sebatas nalar
Namun, hati lah yang menebak rasa
Kata terutara selalu dusta
Puisi di hati itulah kebenaran hakiki
Ich bin verliebt, ich bin verliebt
Bunda,
Salahkah jika aku yang memilih?
Tak layakkah bila aku yang memilah?
Dosakah jika aku yang putuskan?
Sepucuk perihal saja…
Cinta
Ich bin verliebt, bunda
Read More

UNTUK PUTRI PURNAMA

Mulanya sabit kecil kepucatan
Sebelum bermetamorfosis purnama
Mengerling manja kepadamu
Keluhkan kesepian abadi tak berbintang
Mulanya hanya pungguk mengantuk
Diminta petikkan rembulan tuk sang putri
Menjadilah genderang ditabuh lantang
Hingga subuh menjemput pagi
Kemilau cahaya hanya sesekali di aura
Karna selalu urungkan niat tuk bersua
Tapi biarlah…
Setiap kisah selalu ada yang menuturkannya
Duhai merpati biru
Usah mengharu
Ini sekelabat bayang semu
Di isi jiwa jadi peluru
Duhai putri cahaya, penerjemah purnama
Jangan tunggu gerhana tiba
Ku takut gumintang memarah
Terjun ke bumi jadi musibah
Jangan ludahi etalase yang kau cipta
Ia kan jadi altar persembahan bagi jiwa
Biarlah menjadi beranda
Mungkin ku bisa pulas di lamannya
Bebaslah, ku tak ingin memasungmu
Jadilah merpati, dekat, lincah tapi sekelabat berlari
Berilah warna pada kanvasmu
Orang lain tak berhak menulis di sana
Perjumpaan lewat kata
Lebih menukil kisah berbekas
Karena ia bukan kenangan
Takkann terlupa, tapi mengemas sejarah
Ceritakan padaku tentang istanamu
Mungkin ku bisa mengayuh biduk di sungainya
Ku janji ku takkan menggores menara
Tak pula mencuri bunga di tamannya
Ku kan bersiul di atas permadani
Sampaikan pesan melalui sang bayu
Bila purnama ketiga berlalu
Nantikan hadirku sehari menjelang subuhnya
Sudah malam putri
Nyalakanlah lilin
Dan bila nanti kau dalam kegelapan
Kenanglah cahayanya
Ku kan menjadi rembulan di tengahnya
Read More

MENJEMPUT PURNAMA

Satu malam tak sua ia
Berat hati tuk bertanya
Adakah murka pada cahanya
Hingga buat malam-malam gulita?
Satu bulan tak ku sapa ia
Merajuk diri menyumpah serapa
Hingga gerimis menggaris waktu
Ku masih membisu
Satu tahun ku menunggu
Hingga belati menghujam ruh
Pinta daku balikkan meminggu
Meskipun sesayap tak lagi pada kekupu
Sudah ku uraikan rinduku
Pada bilikmu menunggu itu aku
Mari bersama jemput rembulan
Hilangkan dirimu, pelankan napasmu
Perlahan curi ia dari bebintang
Usah menangis, Adik
Rembulan yang dalam genggaman mari kita seberangkan
Biarkan malam sejenak gulita
Esok kaulah yang jadi pelita
Read More

MENANTANG TAKDIR

Sekali pergi jangan berpikir tuk kembali
Karena melulu ada hal kodrati yang mesti diadili
Jangan memetik mawar
Bila kau takut marah sang duri
Tapi bila terlanjur terluka
Kecuplah telunjukmu, ada penawar di ujungnya
Kala takdir menyeruak memaksa bersua
Izinkan cinta menjamunya
Ada banyak hal yang harus kita ceritakan
Sebanyak yang penting tuk kita sembunyikan
Mencinta adalah pilihan
Dicinta adalah kenyataan
Kadang rumit tuk disatukan
Tak baik beri pilihan
Usah pula tunjukkan kepastian
Semuanya ada jalan
Tergantung sahabat yang menjadi pasangan
Bila ada cinta menyapa
Ingatlah itu hanya perhentian sementara
Keabadian adalah yang menggebu
Ialah rindu…
Read More

NARASI RINDU

Tertunduk membungkuk kau memandangku
Beranikan diri kerlingkan indah dua bola
Tempat mengalir samudera
Aku terangguk dengar lima tanya berlalu
Walau tak berharap ada jawab terutara
Usah menunduk, sayang
Aku bukan dewa kaupun manusia
Tegaklah laksana alif
Biarkan ku menjadi hamzah di mahkotamu
Berlalu diri dalam tegap
Tanpa ada dawai mengalun
Pertemuan selalu sekejap
Selebihnya drama narasi rindu tak berkesudahan
May Ziadah tiada pernah bersua Gibran
Ia takut kelak kan jadi beban
Pertemuan terbaik adalah pertemuan mata
Karena di dalamnya tak ada dusta
Tahukah kau apa yang terjadi
Bila Rumi temukan Tabriz
Saat itu matahari mati dan rembulan padam
Tapi sudahlah,
Itu dongeng purba bagi pecinta
Laila sihir Qais jadi gila (majnun)
Rama pertaruhkan nyawa demi Shinta
Cleopatra bungkukkan lutut raja
Dan takluklah Nil ke tangannya
Kecantikan abadi ada di hati
Karnyalah mereka rela berkorban
Tanyakan pada hatimu
Sudahkah ada yang berkorban untukmu?
Read More

MEMANAH REMBULAN

Perjumpaanmu dengan rembulan, bukan kali yang pertama. Tapi cara menatapmulah yang buat ia lebih bermakna. Rembulan, seperti benda langit lainnya, ia hanya seonggok cahaya. Dan rembulan, sungguh tak lebih baik dari bebintang, ia hanya ketiban cahaya dan coba pantulkan ke sisi gelap dunia.
Tapi, di balik kesahajaan itulah ada hikmah. Banyak manusia mampu bercahaya, punya sinar di matanya, tapi hanya berapa yang bersedia jadi pelita bagi sesamanya? Bukankah itulah makna bermanfaat bagi manusia (yanfa’u linnas).
Perjumpaanmu dengan rembulan, memang sebentar. Tapi cukup membekas. Banyak orang terlena dan asyik menatapnya. Ya sebanyak itu pula yang mengumpat hadirnya. Demikian manusia, ada yang suka kehadiranmu sebanyak yang tak kehendaki ada-mu.
Manusia terbius oleh kemilau cahaya, tak peduli pada gulita di sebelahnya. Coba ingatlah! Berapa banyak sahabat yang berada di sampingmu kala kau bahagia dan berpunya? Bandingkan, berapa yang hadir menghiburmu kala duka menyelimuti?
Ingatlah sesiapa yang menyeka air matamu? Sesiapa yang bersedia menyediakan dada untuk kau memeluk dan menumpahkan air mata di sana? Kadang ia memang tak ada kala kau bahagia. Tapi ia selalu di dekatmu saat kau bersedih lara. Ia tidak melepasmu, pun juga tak meninggalkanmu, apalagi melemparmu. Ia hanya ingin kau bebas, tak ada temali di pergelanganmu pun tak ada sangkar yang mengurungmu.
Perjumpaanmu dengan purnama yang kusebut bunda, ingatkanku pada mawar merah yang sempat kujaga hingga mekar kelopaknya, memerah mahkotanya. Ia begitu indah dan tak ada penggantinya. Tapi, ia terlepas durinya dan tercuri madunya. Ia telah kembali pada alam. Dialah yang buat namaku anak rembulan, putra pelangi dan penjaga kejora. Ia telah pergi dan takkan kembali. Ia telah hilang dan takkan hendak datang.
Kisahmu, kamulah yang ukir. Duniamu adalah kanvas besar nan luas. Kau bebas menggambar dan melukisinya. Cobalah beri sedikit warna, indah nian bukan? Duniamu juga panggung besar nan elok, ada ribuan kamera tengah mengawasimu, jangan takut, jangan malu! Bergayalah, perankanlah dirimu, seutuhnya!
Aku bukan sesiapa, hanya karpet merah sang penyambut ratu agung. Hanya menghidupkan bara dalam sekam yang basah, tapi kau lah yang berpunya puntungnya. Silahkan menyala sendiri, aku hanya sekedar meniupnya. Izinkanku membawamu, meskipun itu tak terlalu tinggi.
Read More

PERCAKAPAN SENJA

Kita tentunya tak harapkan gelegar halilintar hiasi malam ini, tapi bukan berarti kita pencinta sepi tak berujung. Yakinlah setelah air mata kan kau lihat senyuman.
*
Kebahagiaan yang berujung sepi, poros berikan putaran pada roda hingga tertegunlah yang menjadi akhir dari sebuah arti.
**
Jika telah tiba masa itu. Aku tak ingin genderang ditabuh, karena kelak hanya kan undang sekawanan serigala menuju pesta. Hanya inginkan harum mawar penuhi lorong-lorong jiwaku.
*
Mawar mana yang kan hiasi relung jiwamu? Adakah secercah cahaya tuk buat mahkotanya bersinar? Adakah semangkuk telaga yang sanggup buatnya segar? Tolong jangan buatnya menderita..!
**
Akulah sinarnya, dan takkan pernah ia merasa dalam kegelapan, dan mahkotanya kan bersinar bahkan lebih dari sang surya. Akulah telaganya, dan takkan dia me-layu. Takkan kubiarkan dia menderita. Entah harus kubalas dengan apa wangi yang selama ini kunikmati. Seorang Ratu tidak terlahir tapi dibentuk. Kau berhak kenakan mahkotanya, bukan aku! Aku hanyalah karpet merah sang penyambut tamu agung.
*
Tidak! Kau tidak seburuk itu. Kaulah raja yang coba tebar kebahagiaan. Kau datang dengan sinar emas di dadamu, kau pemberi kesegaran lewat untaian kata dari bibirmu. Kau begitu berharga…
**
Sebegitu mulianya anak seorang pengayuh perahu? Kubelum mendengar seorang pemburu menjadi seorang raja. Jika tidak memburu maka dia diburu, itulah ceritanya. Dan aku bukanlah seorang pemburu yang lincah, terkadang aku terluka karena tombakku sendiri.
*
Andai kutahu selimut malam begitu tebal, mungkin kutakkan bermandi kesah. Kutak hanya lemah tapi tak berdaya. Sedingin es membeku aku biru. Malam ini rembulan tak hadir. Sungguh bintang takkan dapat tuk menggantikannya.
**
Kala petang membawa tombak, rembulanpun membunuh malam dengan pesonanya. Takkan jadi mimpi karena kalbu yang berhias mawar. Tapi awas! Jangan terkecoh pesonanya yang memukau, karena mahkota tak tanggung marah sang duri.
**
Aku harap itu bukan mimpi, karena mimpi-mimpiku telah lama tercuri. Kadang kuinginkan rembulan tak hadir tapi menyala. Tak hanya jadi pelengkap tapi tempat berharap. Kapan kan kusaksikan lagi rembulan bersayap?
*
Biru tubuh membuat lebur hatiku. Tak bisa kuberpijak kala kau paksakan dirimu tuk jaga pesonaku, balut luka yang menganga. Saggupkah kau bahagia?
**
Kubahagia bila merahmu menyala. Kubahagia ketika kelopakmu terbuka. Kubahagia saat kau sempurna.
*
Sekawanan burung terbang ke timur. Rembulanpun masih sabit senyumnya. Kuharap dia bawa kabar tentang esok. Kulihat lautan menyala, merpati terpukau, putih warnanya menjadi biru. Aku anak rembulan!
*
Ku tak sadar ketika menari dalam gelap. Kutak sadar posisi ketika utara kujadikan kiblat. Esok, beritakan pada nirwana yang tak bertiang, bahwa di bumi ada anak malang yang tak tahu jalan menuju pulang. Akulah kerbau yang terbuang dari kubangan.
*
Jangan takut dengan kepergian cahaya, mata ini akan menyala sepanjang malam. Kadang kuberfikir sebagai lilin, kuterus menyala maknai kelam dengan cahaya.
*
Ada yang tidak kita ketahui tentang malam, di balik kesunyian ada keramaian yang tak terkira. Ada yang tidak kita ketahui tentang siang, dia tak lebih hanya ketiban benderang. Apalah arti cahaya jika tak dapat menerobos pekat? Apalah arti gulita jika setelahnya masih ada air mata?
*
Awali pagi, mentari menari. Awali hidup tanpa kabut. Tergagap dari mimpi tuk raih esensi. Tak hanya sekedar nilai dan materi, dengan fakta bicaralah apa adanya!
*
Gelap malam serasa mati, tak rasakan sedihnya. Hati yang terbuai membiru sakti, meledak menjilat rasa. Sedang angkasaku bergoyang, bertanya pedih. Dosa keberapakah yang kubuat? Penjaga diri terbahak melihat diri yang lemah ini.
**
Kutawarkan diri sebagai pelita jika gelap kian pekat. Sadarkan diri akan posisi, gejolak tak mesti berombak. Jangan mati rasa, membeku biru hanya kan jemput haru. Tak kuingin ada yang membasahi pipimu.
*
Kutakut bila tetesannya menggenangi hatimu hingga gelisah hanyutkan mimpi. Tolong biarkan gejolak ombang-ambingkan kalbu. Biarkan dia peluk daku, tapi jangan yang kau jadikan lilin sebagai penawarku.
**
Tidak..! sungguh tak kutawarkan lilin sebagai penawar, lilin hanya kan nyalakan sijago merah. Kutawarkan tempat berlindung, tumpahkanlah semuanya di sana. Kusiap menadahnya. Tapi tolong, jika pipimu telah kering, lanjutkan kembali langkahmu!
*
Takkan ada air mata yang kan membasahi pipiku, biarlah mengalir deras dalam hati karena untuk itu kutak pernah ada kekuatan. Yang kubisa hanya mengharu.
**
Pelangi takkan hadir di malam hari, tapi kucoba panggilkan bila itu adalah penawarmu. Kau mawar kecil yang mulai berani curi waktu tuk melihat indahnya mentari. Jejaring mimpi jangan kau tolak jika mata telah mulai lelah.
*
Kehangatan mentari beri warna lain dalam dunia temaramku. Coba kucuri waktu tapi duniaku merenggutnya sedang sang pelangi kecohkan sepiku. Berkawanku dengan arakan awan, tapi mereka permainkanku sedang merpati anggapku lucu…
**
Berbahasa kalbu kubernyanyi, tersesat di alammu aku mau. Kadang kuberfikir tuk jadi mawar, kalahkan anggun melati rayu pagi ikut menari. Merpatimu putih, dia jinak dan bersahabat. Kau hanya belum coba sentuh dia.
*
Jangan..! Kutak ingin kau kecap pahitku. Tetapkanlah hangatkan senyumku. Biarkan kuberceloteh untukmu tapi jangan kau dengar rintihku. Begitu banyak sepiku kau rayu, ku hanya tak mau kau tersapu
**
Biarkan aku yang tersapu, asal jangan kau membisu. Ini perihal biduk karam di tengah, ku mohon jangan tenggelam. Ku kan menjelma ikan-nya Yunus dan membawamu ke tepian. Bangunlah, kau sedang bermpi!
*
Read More

GADIS KECIL GESEK LUKAKU

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini masih berlagak diri seolah sembilu
Balut lukaku yang semakin membiru
Pantangkan diri tuk mengharu
Bak mawar ia tengah merekah
Malu hendak ku sentuh kelopaknya
Atau sekedar mengerling merahnya
Karna ku tahu ia takkan tanggung marah sang duri
Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini mulai berceloteh tentang pesta menyambut pagi
Nyanyian periang di tengah sepi
Meskipun ia sering teriris sembilu
Bak gendang ia mendendang
Lagu bimbang di tengah gersang
Jengah hendak ku pangku ia
Tak pantangkan baginya terantuk galah
Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini berdiri tegak di hadapanku
Tubuhnya membiryu, bibirnya membisu
Rebahkan diri ke pelukanku
Sembari berbisik “maafkan daku”
Read More

JANJI MIMPI

aku ingin berlomba dengan waktu dan cinta semu
mengepakkan sayap mengarungi langit ke tujuh
aku ingin mencium wewangian bunga tujuh rupa
memetik kamboja di atas nisan tanpa nama
kuundang dikau dalam mimpi dihari ke tujuh
sebagai tamu kehormatanku
Read More